Ya, bangunan itu masjid yang didesain dan didirikan Mohammad Ramdan Effendi alias Anton Medan di dalam kompleks pesantren miliknya, At-Thaibin. Bekas residivis itu mengadopsi arsitektur Istana Dinasti Ching dan memodifikasi unsur Islam untuk masjidnya.
Atap bangunan yang lantai dasarnya dipakai untuk kantor pesantren terdiri atas tiga undakan. Setiap jengkal atapnya berornamen Cina, seperti lampion merah. Ujung-ujung wuwungan dihiasi kepala naga--simbol kesuksesan--yang seolah menyembul dari awan. Ujung gentingnya bulat berdiameter 7,5 sentimeter bertulisan Cina berlafal "huang" atau raja dan berlafal "Allah". "Ornamen bertulisan 'raja' saya taruh di bawah tulisan 'Allah'." Anton menjelaskannya pada Rabu lalu di rumahnya di Cibinong, Jawa Barat.
Di pucuk atap, terdapat lafal Allah dalam tulisan arab. Atapnya berbentuk topi Putri Xianchiang komplet dengan antingnya. Putri Xianchiang, kata Anton, adalah muslimah Cina pertama. Tak ada kubah. Menurut dia, kubah bukan arsitektur Arab, melainkan Spanyol.
Empat patung burung rajawali berdiri di bawah topi Putri Xianchiang. Anton berharap umat Islam bisa memandang setiap persoalan setajam tatapan rajawali. Bukan seperti burung perkutut, yang tiruannya diletakkan di ujung wuwungan, di belakang kepala naga. "Selalu bergerombol, tapi tidak berbuat apa-apa."
Masjid ini semiterbuka. Hampir semua dindingnya adalah pintu yang dibuka ketika ada perhelatan. Uniknya, desain pintu masing-masing berbeda sebagaimana pintu-pintu kerajaan di Cina. Pintu-pintu biasanya merupakan sumbangan penduduk berbagai daerah. Setiap daerah menyumbang pintu dengan desainnya sendiri. "Hanya, ukurannya sama, karena telah ditetapkan."
Selebihnya, ornamen-ornamen masjid yang didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim Surabaya ini, "Hanya tambahan sendiri," kata Ong. "Tambahan sendiri" itu ada pada pintu ruangan imam dan sembilan pintunya. Pintu ruangan imam berbentuk seperti pintu gereja sebagai pengakuan terhadap Isa, penerima Injil. Akan halnya pintu-pintu Cheng Hoo yang melengkung bercat kuning, pintu itu terpengaruh budaya India.
Di bagian dalam Cheng Hoo, yang ukurannya 11 x 21 meter, sentuhan Tiongkok hanya tampak pada dinding mihrab. Dominasi dinding warna merah tua--yang bermakna kesejahteraan--dengan warna hijau muda pada atapnya. Kubah masjid yang diilhami Masjid Niu Jie, Beijing, yang didirikan pada 996 itu cokelat muda berhias huruf Arab. Hiasan ini sekaligus berfungsi sebagai jendela.
Begitupun dengan bagian dalam Tan Kok. Kecuali 16 pilar yang menjulang hingga 4 meter bercat merah, tak ada sentuhan Cina lainnya. "Bagian dalam tetap bercorak Islam," kata Anton.
Jika kedua masjid itu kental dipengaruhi arsitektur Tiongkok, itu karena arsitektur masjid memang tak ada pakemnya. Arsitek dari Institut Teknologi Bandung, Ridwan Kamil, mengatakan desain luar bangunan masjid di seluruh dunia biasanya dipengaruhi budaya lokal.
Hanya, sebaiknya beberapa hal dijadikan acuan. Untuk masjid yang biasa digunakan berjemaah dan bersaf, bentuk persegi empat lebih baik. Tak perlu bentang luas. "Dengan banyak kolom di dalamnya pun tidak ada masalah," kata Emil--sapaan akrab Ridwan Kamil--pada Jumat lalu di Bandung, Jawa Barat.
Masjid dengan banyak bukaan seperti Tan Kok dan Cheng Hoo telah tepat. Tanpa kipas angin dan mesin penyejuk udara, kedua masjid itu telah terasa sejuk. Bagaimanapun, kata Emil, orang beribadah butuh kekhusyukan. Gerah akan mengganggu konsentrasi orang beribadah.
Makin tinggi jarak antara plafon dan lantai, itu akan lebih baik. Selain agar tak gerah dan pengap, plafon yang tinggi menghadirkan suasana tertentu. "Semakin tinggi plafon, akan terasa manusia hanyalah makhluk kecil di hadapan Allah."
Kelemahan desain Masjid Tan Kok hanya pada tritisannya. Saat hujan turun seperti pada Rabu lalu, air hujan banyak yang masuk ke teras masjid. Air tergenang di mana-mana. Menurut Emil, masalah ini bisa diatasi dengan memperpanjang tritisan. Langkah ini tidak akan mengubah desain asli bangunan.
ERWIN DARIYANTO | KUKUH S.