Sambut Pemilu, Poster Taring Padi Hiasi Tembok Yogyakarta

Selasa, 16 April 2019 07:36 WIB

Poster 'Terompet Rakyat' dari komunitas seni Taring Padi di dinding Jembatan Kewek Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani

TEMPO.CO, Yogyakarta - Komunitas seni Taring Padi memasang 22 jenis poster bertema sosial politik menyambut Pemilu, Rabu 17 April 2019. Poster berwarna hitam putih yang menggunakan teknik cukil kayu memenuhi sudut Kota Yogyakarta.

Baca: Berhadiah Puluhan Juta, KPU Kulonprogo Gelar Lomba Selfie Pemilu

Tengoklah poster berbentuk lingkaran berdiameter 58 sentimeter yang memenuhi tembok Jembatan Kewek, perempatan Tugu, Taman Siswa, Bausasran, Sagan, dan Munggur. Hampir dua pekan poster-poster itu menghiasi jalanan Yogyakarta. Gambar komunitas yang mengusung konsep seni untuk rakyat itu ramai dengan pesan anti-korupsi, toleransi, hak asasi manusia, dan lingkungan.

Seniman Taring Padi, Fitriani Dwi Kurniasih menciptakan poster bergambar kerumunan orang yang menggenggam simbol perdamaian. Dia membuat gambar peta Indonesia dan orang-orang dengan beragam latar suku, agama, dan ras. Fitri melengkapi karyanya dengan tulisan keberagaman kita pertahankan, perdamaian kita perjuangkan, semua bersaudara, toleransi, dan perbedaan bukan alasan untuk saling menghantam.

Lewat karya itu, Fitri mengkritik isu SARA yang sering digunakan sebagai alat politik di masa pemilu. "Isu tersebut rentan menimbulkan konflik dan perpecahan di masyarakat dan mengancam keberagaman Indonesia," kata Fitri, Senin, 15 April 2019.

Poster lainnya juga bicara soal pentingnya menjaga keberagaman. Misalnya pada karya yang menggunakan citraan kepala manusia. Tiga lidah menjulur keluar dari mulut tiga orang yang muncul hanya kepalanya saja. Pada mata dan kepala orang-orang itu terdapat gambar ponsel bertuliskan hoax. Karya ini mencantumkan narasi stop membuat kami buta dan perbedaan agama, suku, dan ras bukan alasan untuk saling membenci.

Poster 'Terompet Rakyat' dari komunitas seni Taring Padi di dinding Jembatan Kewek Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani

Advertising
Advertising

Tema yang juga relevan dengan situasi politik saat ini muncul pada karya pendiri Taring Padi, Muhammad Yusuf. Poster Yusuf bicara tentang korupsi. Dia membuat gambar kerumunan orang miskin yang berjejal di antara gedung pencakar langit dan senayan. Ada gambar tikus yang sedang nangkring di gedung itu. Kerumunan manusia terlihat membelakangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Seorang ibu bertubuh kering kerontang menggendong anaknya, pengamen dengan gitarnya sedang bekerja di dalam angkot.

Dia membubuhkan tulisan korupsi itu keji. Fakir miskin dan anak terlantar dijadikan alasan hutang negara yang dikorupsi pejabatnya dilindungi oleh undang-undang dan kawannya. Maka bersatu dan lawanlah. Yusuf menggambarkan kejahatan korupsi seperti memakan jatah anak yatim dan itu sebuah kejahatan yang besar bagi orang beragama. "Dalam konteks pemilu, jangan memilih calon yang berpotensi korup dan yang pernah korupsi," kata Yusuf.

Baca juga: KPU Evaluasi Pemungutan Suara di Sydney yang Dikabarkan Kisruh

Poster lainnya menyinggung ihwal memilih atau tidak memilih (golput) dalam pemilu yang seharusnya dihargai. Dalam gambar itu muncul seorang musikus yang sedang bermain gitar dan tangga nada. Sang musikus menyanyi 1, 2, 3 serta partai lainnya semua sama-sama bohongnya. Pilih boleh, tidak memilih boleh. Jangan memaksa itu hak gua. Bebas memilih tanpa paksaan.

Karya Taring padi lainnya tentu saja tak beranjak dari isu panas yang membelit orang-orang pinggiran yang tak bisa bersuara. Misalnya perjuangan ibu-ibu petani Kendeng yang menolak proyek pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Taring Padi memberi nama poster-poster tersebut sebagai Terompet Rakyat 2018 - 2019.

Fitri menyebutkan poster itu dibuat untuk menyikapi situasi sosial politik terkini di Indonesia dan merayakan tahun politik, Pemilu 2019. Sikap kritis, kata Fitri tetap selalu diperlukan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Gagasan pendidikan politik untuk semua dan tuntutan rakyat menjadi tema besar dalam karya tersebut. Taring Padi membaginya menjadi isu korupsi, toleransi, lingkungan dan hak asasi manusia.

Karya itu dikerjakan secara manual dan gotong royong. Tak hanya di jalanan, poster-poster dengan karakter yang sama ditampilkan dalam pameran di sejumlah kota dan negara. Selain di Yogyakarta, poster itu ditempel di Blora Jawa Tengah dan Malang Jawa Timur.

Taring Padi memamerkan poster dengan tema yang sama di Kuala Lumpur Malaysia pada Februari 2019. Tema pamerannya Democracy Festival. "Selain poster, kami juga mencetak dalam bentuk buku dan zine," kata Fitri.

Taring Padi dikenal sebagai kelompok seni yang memproduksi poster dan pamflet pada masa Reformasi. Mereka memilih jalur turun ke kaum pinggiran. Terinspirasi oleh semangat Lembaga Kebudayaan Rakyat, sejumlah mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia mengagas pembentukan kelompok seni Taring Padi pada akhir 1998, setelah pemerintahan Soeharto tumbang. Mereka menyuntikkan kembali napas "kebudayaan rakyat" yang sempat dihadang sepanjang Orde Baru berkuasa.

Nama Taring Padi dicomot dari frase Minang yang berarti 'duri lembut pada ujung bulir gabah.' Meski kecil, jika mengenai tubuh, duri itu bisa menyebabkan gatal-gatal. Padi juga mengilustrasikan petani yang menjadi simbolisasi rakyat. Filosofi mereka jelas: seni bukan barang elite yang hanya bisa dinikmati di ruang-ruang galeri, tapi karya yang membumi dan melibatkan rakyat. Karena itu, seni terutama harus kritis, bukan sekedar keindahan.

Prinsip dan pola gerakan Taring Padi memang mirip Lekra, terutama Bumi Tarung--sanggar seni rupa yang berada di bawah Lekra. Mereka menolak konsep seni untuk seni karena dianggap hanya akan menjauhkan seniman dari rakyat. Konsep seni untuk rakyat ini, misalnya, mereka terapkan saat menggelar Festival Memedi Sawah di Desa Delanggu, Klaten, pada 1999. Mereka mengarak orang-orangan sawah bertuliskan "Emoh Bahan Kimia" serta memasang poster besar bertuliskan "Rebut Kembali Hak Rakyat Atas Pengembangan Kebudayaan Rakyat".

Sekilas prinsip dan pola kerja mereka identik dengan Lekra yang diberangus pemerintah Orde Baru sejak 1965. Karya seni rupa mereka mirip karya-karya perupa Sanggar Bumi Tarung, yang merupakan sanggar perupa di bawah naungan Lekra.

Dalam proses berkarya, mereka juga menerapkan konsep turba, istilah yang digunakan Lekra untuk blusukan ke masyarakat sebelum mereka menciptakan karya seni. Dalam Taring Padi, istilah itu diganti menjadi live In. Meski begitu, Yustoni Volunteero (almarhum), pendiri Taring Padi lainnya pernah menyebutkan menolak disebut sebagai pewaris Lekra. "Kami independen," katanya.

Berita terkait

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

1 jam lalu

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

Ahli politik dan pemerintahan dari UGM, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan sidang sengketa pilpres di MK membantu meredam suhu pemilu.

Baca Selengkapnya

Saran Psikolog agar Anak Berkembang di Bidang Seni

2 hari lalu

Saran Psikolog agar Anak Berkembang di Bidang Seni

Orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi di berbagai bidang, baik seni maupun bidang lain.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

2 hari lalu

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

Hakim MK Arief Hidayat menegur komisioner KPU yang tak hadir dalam sidang PHPU Pileg Panel III. Arief menilai KPU tak menganggap serius sidang itu.

Baca Selengkapnya

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

3 hari lalu

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyakini partainya masuk ke Senayan pada pemilu 2029 mendatang.

Baca Selengkapnya

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

5 hari lalu

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB Indonesia tahun 2024 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

8 hari lalu

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.

Baca Selengkapnya

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

8 hari lalu

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan, badan Adhoc Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), harus diseleksi lebih ketat dan terbuka untuk menghindari politik transaksional.

Baca Selengkapnya

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

8 hari lalu

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

Pakar Hukum Universitas Andalas atau Unand memberikan tanggapan soal putusan MK dan dissenting opinion.

Baca Selengkapnya

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

9 hari lalu

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

Tim kampanye Joe Biden berkata mereka tidak akan berhenti menggunakan TikTok, meski DPR AS baru mengesahkan RUU yang mungkin melarang penggunaan media sosial itu.

Baca Selengkapnya

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

13 hari lalu

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

Ketua Umum PSI yang juga putra Jokowi, Kaesang Pangarep usulkan pemilu selanjutnya dengan sistem proporsional tertutup karena marak politik uang.

Baca Selengkapnya