Selawatan dalam Gemulai Tari Jawa Pesantren Yogyakarta
Reporter
Shinta Maharani (Kontributor)
Editor
Aisha Shaidra
Selasa, 10 April 2018 16:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan manula dan lelaki berusia 50-an tahun gemulai membawakan tari Jawa, mengiringi selawatan Nabi Muhammad. Mereka berderet, duduk bersila, dan berjoget lincah. Mbadi, salah satu di antara penari yang berusia 80 tahun. Di hadapan mereka, duduk barisan lelaki yang melantunkan tembang macapat. Ada dhandhanggula, pangkur, sinom, dan pucung.
Tari dan lagu tradisional Jawa itu mengikuti selawat, pujian kepada Nabi Muhammad. Musik kendang, kempol, gong, angklung, dan rebana menyertai sanjungan terhadap nabi umat Islam. Sebanyak 20 lelaki itu berhimpun di Paguyuban Salawatan Emprak, Yogyakarta.
Selasa malam, 3 April, 2018, kelompok kesenian selawat Jawa ini berlatih hingga menjelang tengah malam. Salawatan Emprak merupakan bagian dari Pesantren Kaliopak, Klenggotan, Srimulyo, Piyungan, Bantul. Pesantren ini berdiri tak jauh dari Sungai Opak. Gemericik air Sungai Opak dan gemerlap kunang-kunang menemani mereka. “Ini latihan untuk hari jadi Masjid Al-Aqsa Menara Kudus, Jawa Tengah, Kamis mendatang,” kata Ketua Paguyuban Emprak Mulyanto.
Peringatan hari jadi masjid peninggalan Sunan Kudus itu akan diramaikan dengan pembacaan puisi Gus Mus, Thomas Budi Santoso, Sosiawan Leak, KH Saifuddin Luthfy, dan Ki Sulardi Ganda Mastuti. Ada pula lomba sketsa.
Kesenian selawatan Jawa, menurut Mulyanto, sudah ada sejak ratusan tahun silam. Di kampung Klenggotan, kesenian itu ada sejak 1980-an. Kekhasan emprak mirip tari Jawa. Sebagian gerakannya seperti tari jatilan.
Saat pentas nanti, para penari menggunakan sampur atau selendang. Mereka juga mengenakan pakaian Jawa Mataraman seperti busana dalang, lengkap dengan surjan, jarit, dan keris. Mereka memulai gerakan tangan menyembah pada awal dan akhir latihan itu. “Ini gerakan menyembah Allah,” kata Mulyanto, yang bekerja sebagai pedagang kambing.
Paguyuban Emprak kerap diundang untuk pentas di sejumlah acara, di antaranya muktamar nasional Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, dua tahun lalu. Kampus di Yogyakarta, seperti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, juga kerap mengundang mereka untuk tampil.
Anggota paguyuban ini mayoritas merupakan petani. Mereka tak hanya datang dari Yogyakarta, melainkan dari Indramayu, Jawa Barat. Mereka juga terbuka pada mahasiswa ataupun siapa saja yang ingin bergabung untuk ikut berkesenian. Beberapa mahasiswa UIN Sunan Kalijaga senang ikut latihan.
Mulyanto berbagi kisah bagaimana paguyuban ini bertahan. Kuncinya, menurut dia, adalah menyenangi kesenian. Anggota paguyuban itu menghayati dan menikmati keindahan seni sebagai sesuatu yang lentur. Mereka pun berpatungan mengumpulkan dana secara mandiri untuk kebutuhan sosial, misalnya bila ada anggota atau tetangga yang sakit dan mengalami kesulitan lain.
Pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasan Basri Marwah, mengatakan emprak merupakan selawatan Jawa lokal yang terus dijaga di Pesantren Kaliopak. Pesantren yang diinisiasi sejumlah intelektual muda NU sejak 2005 itu rutin mengkaji keindonesiaan, ilmu sosial, dan tradisi Jawa.
Di pesantren itu pernah digelar pertunjukan wayang, kajian aksara Jawa. “Itu sebagai modal kalangan pesantren untuk merumuskan Islam Nusantara,” ucap Hasan.
Pesantren ini juga melibatkan anak-anak muda untuk mengkaji hal-hal yang kontekstual. Contohnya kajian Islam dan kolonialisme di Indonesia pada Selasa malam itu. Kajian mereka menawarkan pembelajaran alternatif. “Misalnya kami mengkritik pandangan kolonial yang menggambarkan Islam tradisional yang jauh dari kemajuan,” tutur Hasan.