TEMPO.CO , Makassar:Suasana senyap ketika Adi Rukun, lelaki berusia 44 tahun, menemui pamannya yang berumur 82 tahun. Setelah berbincang beberapa saat, keduanya kembali terdiam. Mereka menahan tangis dan mata sedikit berair.
Tak berapa lama, Adi meninggalkan rumah itu dan hati pamannya yang berkecamuk. Perbincangan mereka berdua mengungkit tragedi pada 1965-1966. Sang paman ternyata terlibat dalam pembantaian saat itu. Dia bertugas menjaga para tahanan yang diduga sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk Ramli, kakak Adi. (Baca: Film Senyap Bak 'Pucuk Dicinta, Ulam Tiba')
“Alasannya, (Paman) membela negara,” kata Adi bercerita kepada ibunya saat tiba di rumah. Ibunya menimpali dengan sinis, “Membela negara apa?” (Baca: Aktor Utama Film Senyap, Nomaden dan Takut Diracun)
Kisah itu adalah potongan dari film dokumenter berjudul Senyap atau The Look of Silence. Film yang diproduksi pada 2014 dan disutradarai Joshua Oppenheimer, sutradara yang sama untuk film Jagal atau The Act of Killing (2012), ini diputar dalam sebuah acara nonton bareng di Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin, Selasa lalu, 6 Januari 2015.
<!--more-->
Senyap mengangkat kisah Adi Rukun sebagai tokoh utamanya yang mencari informasi tentang pembunuhan kakaknya. Ayah dan ibunya masih hidup dan kini berusia sekitar 100 tahun. (Baca juga: Panitia Film Senyap di Malang Diinterogasi Intel )
Adi, yang bekerja sebagai penjual kacamata, mendatangi para pelaku pembantaian yang masih hidup. Sambil mencocokkan ukuran kacamata, Adi bertanya-tanya kepada mereka tentang cara membunuh, tentang PKI, dan alasan mereka melakukan hal itu.
Dalam beberapa adegan, Adi juga menonton rekaman berita yang diliput oleh media Amerika Serikat pada 1967. Juga rekaman wawancara pada 2003 dengan beberapa pelaku lainnya. Dalam rekaman itu, pimpinan pasukan pembunuh tingkat desa, Amir Hasan dan Inong, memperagakan cara-cara yang mereka lakukan saat menghabisi nyawa para korbannya.
“Tentang apa peristiwa PKI itu, Bu?” kata Adi kepada seorang di antara saksi hidup yang ditemuinya. Perempuan tua itu hanya bisa melukiskan apa yang dilihatnya. “Entah apa salahnya, mereka dibawanya, ditutupnya matanya. Semua dibawa ke sungai, dipotongi, ditembaki,” katanya.
<!--more-->
Dalam beberapa tanya-jawab yang dilakukan kepada para pelaku yang semuanya sudah lanjut usia, Adi menemukan fakta bahwa mereka semua menganggap pembantaian adalah perbuatan yang dibenarkan. Sebagian dari mereka juga tidak merasa bersalah.
“Mereka dipropaganda,” kata Adi. “Bahwa anggota komunis tidak memiliki Tuhan. Maka rakyat yang merasa beragama menganggap penganut paham komunis adalah musuh.”
Gunawan Mashar, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Makassar, ada di antara peserta nonton bareng film ini. Dia mengatakan Senyap secara tidak langsung adalah kelanjutan dari Jagal. Bedanya, kata dia, Jagal menyoroti sisi pelaku, sedangkan Senyap lebih berimbang dari segi sudut pandang antara pelaku dan para korban. “Senyap juga lebih banyak menampilkan para penyintas atau orang yang bertahan hidup, yakni Adi dan keluarganya.”
Dalam diskusi yang digelar seusai pemutaran film, Gunawan mengatakan kisah pembantaian yang dilindungi negara, seperti pada 1965-1966 lalu, terjadi sampai sekarang. Buktinya, menurut Gunawan, pelakunya bebas dan beberapa di antaranya bahkan berada di lingkaran penguasa.
<!--more-->
Gunawan mengaku tidak membela benar atau tidaknya PKI. Dia lebih menyesalkan adanya pembantaian itu sendiri. “Dalam hal apa pun, pembunuhan atau pembantaian manusia tidak dibenarkan,” ucapnya sambil menambahkan, “Film ini pada intinya adalah untuk penyadaran.”
Saat berhadapan, antara Adi Rukun dan pelaku yang ditanyainya, ada adegan mereka diam. “Sebenarnya pemeran inti dari film ini adalah kesenyapan itu sendiri,” ucap Gunawan.
Budiman Sukma, peserta diskusi, menilai pemeran inti dari film Senyap adalah kesenyapan itu sendiri yang diciptakan dalam setiap tanya-jawab antara Adi Rukun dan “narasumber”-nya. Sedangkan Amriadi Amir, mahasiswa ilmu politik, mengatakan tidak ada tendensi revolusioner dari film ini. “Film ini hanya ingin menyentuh jiwa kemanusiaan penonton dan memupuk rasa iba,” katanya.
Penulis M. Aan Mansyur, yang ditemui terpisah, malah menilai film Senyap terlalu ramai metafora sehingga pesan filmnya kurang tersampaikan. Menurut dia, film ini terlalu “hitam-putih” dan terkesan hanya memerankan aktor yang jahat dan baik, padahal bisa jadi ada pihak lain yang ikut berperan.
REZKI ALVIONITASARI
Berita lain:
Teroris di Paris, Kakak Beradik Ditembak Mati
Teror di Paris, Ini Cerita Warga Indonesia
Mengurus Gigi, Jokowi ke Klinik Balai Kota DKI