Suasana acara tahunan yang mengundang puluhan musis Jazz dari dalam dan luar negeri, Ngayogjazz 2013 di desa wisata Sidoakur, kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta, (16/11). Meski diguyur hujan, penonton tetap antuias menonton ajang ini. TEMPO/Suryo Wibowo.
TEMPO.CO , Yogyakarta: Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fathorrahman, menyebut pentas musik jazz, Ngayogjazz, di Yogyakarta ditonton berbagai kalangan masyarakat. Mereka bergabung dan menanggalkan profesinya.
Fathorrahman mencontohkan dia yang datang menikmati musik dengan memakai celana pendek. “Ada pula penonton lainnya yang mengenakan sarung,” kata dia dalam acara jumpa pers Ngayogjazz 2014 di Cafe Momento Yogyakarta, Kamis, 20 November 2014. (Baca juga: Musisi Eropa Akan Meriahkan Ngayogjazz 2013)
Menurut Fathorrahman, pemandangan tersebut menunjukkan Ngayogjazz jauh dari kesan jazz mewah yang hanya dinikmati sekelompok orang yang punya banyak duit. Karena itu, Fathorrahman mengibaratkan Ngayogjazz seperti sebuah pengajian yang egaliter.
Ngayogjazz kali ini merupakan pentas seni tahun kedelapan yang digelar di desa wisata Brayut, Pendowoharjo, Kabupaten Sleman, Sabtu, 22 November 2014. Panggung Ngayogjazz pertama digelar 2007. Inilah panggung jazz terbesar di tanah air setelah Java Jazz.
Ngayogjazz tahun ini berjudul Tung Tak Tung Jazz, yakni bebunyian yang dilisankan yang menggambarkan kegembiraan. Tung Tak Tung Jazz merupakan rangkaian bebunyian dari alat musik tradisional, satu di antaranya kendang. Alat musik ini biasanya diperdengarkan sebagai intro atau mengawali sebuah acara. “Ngayogjazz berharap menjadi awal untuk regenerasi musisi jazz Indonesia,” kata tim kreatif Ngayogjazz 2014, Aji Wartono.