Aktor Vino G. Bastian yang berperan sebagai Let.Jend. Djamin Gintings dalam film terbarunya, 3 Nafas Likas, di kantor Tempo, Jakarta, 10 Oktober 2014. Djamin Gintings adalah pejuang kemerdekaan di Taneh Karo yang memiliki seorang istri, Likas Tarigan. TEMPO/Fardi Bestari
TEMPO.CO, Jakarta - Penerima penghargaan aktor terbaik Indonesia 2008, Vino Giovani Bastian, punya satu mimpi paling liar di dunia film yang masih ia pendam sampai saat ini. Mimpinya itu adalah membuat film bersama sang istri, Marsha Timothy. Dua tahun terakhir, ia selalu mendiskusikan keinginan itu dengan Chacha, panggilannya untuk Marsha. Marsha setuju dan sangat mendukung keinginan Vino itu.
Keduanya bahkan sudah mengkalkulasi berapa biaya yang dibutuhkan. Vino mengatakan dirinya akan habis-habisan menggunakan semua tabungannya untuk membiayai film ini. "Saya sudah hitung tabungan saya berapa, Marsha punya uang berapa. Itu akan benar-benar kami pakai, habis-habisan pun tak apa," katanya kepada Tempo, pekan lalu.
Film yang akan dibuatnya itu bercerita tentang perjalanan sepasang kekasih. Inspirasinya tak jauh-jauh dari perjalanan cintanya dengan sang istri. Film romansa itu akan diberi judul Nyali. Vino sudah menawarkan naskah film itu kepada kakak iparnya yang juga produser. Namun ditolak. Vino diminta untuk memperbaiki naskah tersebut.
Namun, setelah menimbang-nimbang ulang, Vino memutuskan menunda mimpinya. Entah kapan film itu bisa diproduksi. Vino tak terlalu optimistis film produksinya bisa diterima pasar jika kondisi perfilman Indonesia masih seperti sekarang. Padahal ia yakin betul mampu memproduksi film berkualitas. Namun ia khawatir menghabiskan tabungan untuk proyek film ini justru akan menjadi tindakan bodoh yang akan disesalinya.
Dalam wawancara selama satu jam bersama Tempo, Vino mengungkapkan kegelisahannya tentang film Indonesia. Penonton Indonesia, kata Vino, masih banyak yang belum mampu memilih jenis tontonan yang berkualitas. Namun ini bukan semata soal pilihan penonton. Vino menuding produsen, media, dan distributor film punya andil yang sama.
Persoalannya, banyak produsen film lebih suka membuat produk yang cepat mendatangkan uang, meskipun dengan kualitas buruk. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan monopoli distributor yang membatasi waktu tayang film lokal jika target pencapaian penonton tak terpenuhi.
"Empat hari tayang, kalau jumlah penonton enggak mencapai target, ya, terpaksa diturunkan," kata aktor 32 tahun ini.