TEMPO.CO , Jakarta: Pianis Iswargia Renardi Sudarno memamerkan kepiawaiannya menaklukkan nada-nada sulit. Repertoar terbaik lintas zaman.
Variatonen, Op.27 mengalun indah dari kelincahan jari-jemari Iswargia Renardi Sudarno, yang menekan bidak-bidak piano. Terkadang ia hanya menekan dengan satu jari dan mengambil jeda beberapa detik. Terkadang kedua belah tangannya, yang saling bersilangan, bergerak cepat. Tak seperti karya-karya pada zaman Klasik-Romantik pada umumnya, repertoar yang diciptakan komponis Austria, Anton von Webern, pada 1936, itu lebih merupakan suatu suita yang terdiri atas tiga gerakan.
Meskipun musik yang disuguhkan terdengar modern di zamannya, sesungguhnya komposisi yang digunakan masih sangat tradisional. Repertoar yang digubah dengan teknik lumayan sulit itu menjadi pembuka konser piano Iswargia di Teater Salihara, Sabtu lalu. Konser itu merupakan konser pertama Iswargia di Teater Salihara. “Saya senang sekali ketika mendapat undangan untuk tampil di sini,” katanya.
Sebagai pianis, Iswargia bukan nama baru di jagat musik klasik. Belajar piano sejak berumur 11 tahun, Iswargia menamatkan pendidikan musiknya di Manhattan School of Music, New York, Amerika Serikat. Ia juga pernah mendapat beasiswa untuk belajar musik satu semester di Staatliche Hochschule Fuer Musik Freiburg, Jerman, di bawah bimbingan Hansjoerg Koch. Ketika belajar di Amerika, ia juga pernah menerima penghargaan Aspen Music School Scholarship dan Stanley Norman Smith Awards dari Manhattan School of Music.
Pengalaman pianis kelahiran Bandung ini juga tidak bisa dianggap enteng. Ia berulang kali tampil dalam sejumlah orkestra di Indonesia, antara lain Jakarta Chamber Orchestra, National Youth Orchestra of Indonesia, Orkes Simfoni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Nusantara Youth Orchestra. Ia juga pernah terlibat dalam sejumlah pementasan musik bersama musisi internasional di Amerika Serikat. Tak mengherankan bila dia tak kesulitan saat memainkan pelbagai jenis musik yang menuntut kelihaian tingkat tinggi. Repertoar Variatonen, Op.2—yang digubah dengan teknik serialisme total—dia bawakan dengan mulus.
Iswargia tak memilih tema khusus untuk konsernya pada malam itu. Namun dia mengibaratkan konsernya itu sebagai sebuah mesin waktu. “Kebetulan saya banyak memainkan komposisi abad ke-20. Pada malam ini saya juga ingin memperkenalkan karya-karya komponis pada abad sebelumnya,” katanya. Dalam konser berdurasi 75 menit itu, Iswargia membawakan empat repertoar. Setelah Variatonen, Op.27, dia memainkan sebuah komposisi milik Johannes Brahms—Vier Klavierstucke, Op. 119. Karya yang dibuat selama setahun (1892-1893) ini sesungguhnya terdiri atas empat karya, yakni tiga intermezzo—yang liris dan sensitif—dan satu rhapsody yang heroik.
Tradisi penggabungan karya-karya kecil dengan berbagai karakter ini sebenarnya telah dimulai pada awal zaman Romantik oleh Beethoven. Kebiasaan itu tampaknya terus berlanjut. Hal ini terlihat pula dalam dua komposisi lain yang dipilih Iswargia, Study No. 1 dan Musica Ricercata. Study No. 1 merupakan komposisi karya Tony Prabowo. Karya ini meliputi delapan bagian. Karya yang diilhami Tokyo Concert milik Keith Jarret, Conlon Nancarroe, dan Kontrapungtal pada zaman Barok ini berawal dan berakhir dengan arpeggio. “Karya ini terbilang sulit,” kata Iswargia.
Meski demikian, terbukti dia dapat menaklukkannya. Kepiawaiannya memberikan interpretasi pada setiap komposisi juga dia suguhkan ketika membawakan salah satu komposisi milik Gyorgy Ligeti, Musica Ricercata. Karya yang dibuat dalam kurun 1951-1953 itu adalah gabungan dari 11 karya pendek, yang masing-masing menggunakan kelompok nada sendiri dalam penulisan komposisinya. “Karya ini bukan sekadar eksperimen, tapi juga memiliki konsep dan ekspresi yang jelas,” ujar Iswargia.
NUNUY NURHAYATI
Terpopuler:
Skyfall Cetak Rekor Pendapatan Film Bond Terbesar
Pameran Fotografi Kerajaan Gula di Yogyakarta
Film 360, Lingkaran Cerita Tentang Cinta dan Sunyi
Love In Paris Siap Hingga 70 Episode
Peragaan Busana Surabaya Rasa Halloween