Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kaitan Stres Bisa Membuat Rambut Beruban

image-gnews
Ilustrasi rambut beruban. Shutterstock
Ilustrasi rambut beruban. Shutterstock
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Anggapan bahwa stres dapat menyebabkan rambut beruban mungkin telah sering Anda dengar selama ini. Hanya sedikit penelitian yang membahas topik ini. Dan meskipun beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara uban dini dan stres, tidak ada penelitian yang membuktikan hubungan tersebut.

Dalam penelitian terdahulu, peneliti meminta partisipan untuk mengisi kuesioner tentang warna rambut dan tingkat stres mereka, kemudian para ilmuwan akan melihat apakah mereka dapat menghubungkan keduanya.

Sebuah penelitian berjudul “Risk Factors for Premature Hair Graying in Young Turkish Adults” yang diterbitkan pada tahun 2016, misalnya, para ilmuwan mensurvei lebih dari 1.100 orang dewasa muda Turki dan menemukan bahwa 315 orang yang melaporkan rambut beruban sebelum waktunya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Mereka yang mengalami uban sebelum waktunya juga memiliki riwayat konsumsi alkohol dan penyakit kronis, dan memiliki orang tua yang rambutnya beruban di usia muda.

Namun, sebuah studi terhadap tikus terbitan 2020 yang dikutip The New York Times membawa penelitian tersebut selangkah lebih maju. Dalam studi tersebut, para peneliti memberi tekanan pada tikus dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuntikkan zat kimia mirip cabai yang memicu respons "fight-or-flight". Hal ini menyebabkan tikus melepaskan hormon stres norepinefrin yang menguras folikel rambut tikus dari sel induk. Bulu tikus kemudian tumbuh menjadi abu-abu.

Para peneliti juga menunjukkan efek serupa dari kadar norepinefrin yang tinggi pada sel punca manusia di laboratorium, mendukung gagasan bahwa hormon stres tersebut terkait dengan munculnya uban pada manusia, kata Ya-Chieh Hsu, salah satu penulis penelitian ini yang juga seorang profesor sel punca dan biologi regeneratif di Harvard University.

Namun, penelitian mengenai topik ini sulit dilakukan pada manusia karena peneliti tidak dapat secara etis menimbulkan respons stres tinggi secara artifisial pada manusia seperti yang dapat mereka lakukan pada hewan atau sel, kata Hsu.

Satu studi kecil pada manusia berjudul “Quantitative mapping of human hair greying and reversal in relation to life stress” yang terbit pada 2021 masih mendukung narasi tersebut. Para peneliti mencabut beberapa helai rambut dari 14 relawan yang sedikitnya memiliki uban. Beberapa helai rambut sudah sepenuhnya beruban, beberapa beruban sebagian, dan beberapa tidak beruban sama sekali. Para ilmuwan kemudian membuat gambar digital beresolusi tinggi dari rambut tersebut dan menghitung kapan setiap helai rambut beruban menggunakan perkiraan seberapa cepat rambut tumbuh.

Mereka juga meminta para peserta untuk memetakan pengalaman-pengalaman yang paling memicu stress dari setahun lalu pada sebuah timeline dan mengurutkannya dari yang paling sedikit membuat stres hingga yang paling membuat stres. Para peneliti menemukan bahwa ketika sehelai rambut berubah menjadi abu-abu sering kali berhubungan dengan momen yang paling membuat stress pada tahun sebelumnya bagi relawan tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini adalah pertama kalinya sebuah penelitian menghubungkan peristiwa stres tertentu dengan momen tepat ketika rambut mulai memutih, kata Martin Picard, seorang profesor madya kedokteran perilaku di Columbia University dan penulis penelitian tersebut.

"Hal ini memberikan "bukti nyata pertama kami bahwa mungkin stres memang berperan bagi sebagian orang," kata Victoria Barbosa, seorang profesor madya dermatologi di Chicago University dikutip dari Channel News Asia.

Jika penelitian awal tersebut berlanjut mengidentifikasi perubahan terkait stres yang menyebabkan rambut beruban, suatu hari nanti hal itu dapat mengarah pada perawatan yang dapat mengembalikan warna rambut, kata Paradi Mirmirani, dokter kulit di Kaiser Permanente Vallejo Medical Center. Namun, masih diperlukan lebih banyak penelitian pada manusia dalam skala yang lebih besar untuk mengonfirmasi hubungan tersebut.

Penelitian di masa mendatang mungkin juga membantu menjelaskan mengapa stres dikaitkan dengan uban pada beberapa orang, tetapi tidak pada yang lain, kata Sindhuja Sominidi Damodaran, seorang dokter kulit di Mayo Clinic. Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah mengurangi stres dapat memperlambat atau membalikkan munculnya uban prematur.

Bagi kebanyakan orang, faktor genetika merupakan penyebab utama rambut beruban, kata Barbosa. Kondisi medis tertentu dapat menyebabkan rambut kehilangan pigmen sebelum waktunya, jelasnya. Kondisi tersebut meliputi vitiligo, yang menyebabkan bercak-bercak kulit kehilangan warna, dan alopecia areata, sejenis kerontokan rambut.

Tiroid yang terlalu aktif atau kurang aktif serta perawatan kemoterapi juga dapat menyebabkan uban sebelum waktunya, kata Damodaran. Kekurangan zat besi, kalsium, dan vitamin B12 dan D juga berkorelasi dengan munculnya uban lebih awal, begitu pula obesitas dan merokok.

Pilihan editor: Fenomena Doom Spending Psikolog: Belanja Impulsif karena Stres Akibat Beban Ekonomi

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Tips Sehat Bermedia Sosial agar Tidak FOMO dan Bermasalah dengan Mental

3 hari lalu

Ilustrasi video viral atau media sosial. Shutterstock
Tips Sehat Bermedia Sosial agar Tidak FOMO dan Bermasalah dengan Mental

Pentingnya mengelola stres dengan mempelajari cara membangun hubungan lebih sehat di ruang digital menjadi solusi bijak bagi pengguna media sosial.


Fenomena Doom Spending, Psikolog: Belanja Impulsif karena Stres Akibat Beban Ekonomi

4 hari lalu

Ilustrasi belanja. Shutterstock
Fenomena Doom Spending, Psikolog: Belanja Impulsif karena Stres Akibat Beban Ekonomi

Psikolog Samanta Elsener menjelaskan bahwa fenomena doom spending yang sedang jamak dibicarakan akhir-akhir ini merupakan bagian dari kebiasaan belanja impulsif atau impulsive buying.


Benarkah Stres Bisa Bikin Gemuk?

4 hari lalu

Ilustrasi perempuan makan Burger (junk food). TEMPO/Subekti
Benarkah Stres Bisa Bikin Gemuk?

Stres bisa menyebabkan berkurangnya oksidasi lemak, proses pembakaran lemak menjadi tenaga. Artinya, Anda tak usah makan banyak untuk menjadi gemuk.


Cara Mempertahankan Gula Darah Normal

5 hari lalu

Ilustrasi tes gula darah penderita diabetes (pixabay.com)
Cara Mempertahankan Gula Darah Normal

Gula darah yang normal bisa mendukung kesehatan tubuh secara keseluruhan. Berikut adalah pentingnya menjaga gula darah agar tetap dalam batas normal.


Benarkah Stres Bisa Tingkatkan Gula Darah?

5 hari lalu

ilustrasi stres (pixabay.com)
Benarkah Stres Bisa Tingkatkan Gula Darah?

Stres ternyata berpengaruh kepada tingkat gula darah dan kesehatan mental.


Tidak Sakit tapi Sering Lesu, Penyebabnya dari Stres sampai Kegemukan

7 hari lalu

Ilustrasi wanita lesu. shutterstock.com
Tidak Sakit tapi Sering Lesu, Penyebabnya dari Stres sampai Kegemukan

Banyak hal yang bisa menguras energi meski seringnya kombinasi faktor tertentu yang membuat kita merasa lesu, termasuk stres dan kegemukan.


Kekhawatiran dan Kebiasaan yang Bikin Orang Sulit Tidur

9 hari lalu

Ilustrasi pria sulit tidur. shutterstock.com
Kekhawatiran dan Kebiasaan yang Bikin Orang Sulit Tidur

Survei menemukan ragam penyebab warga Amerika Serikat sulit tidur, termasuk kekhawatiran yang dirasakan dan kebiasaan pemicunya.


Kondisi Gugup dan Deretan Pemicunya

9 hari lalu

Ilustrasi gugup Freepik.com/Wayhomestudio
Kondisi Gugup dan Deretan Pemicunya

Kondisi gugup merujuk perasaan cemas atau tidak nyaman


Mengenali Perilaku Obsesi dan Risiko Buruknya

9 hari lalu

Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Freepik.com/tirachardz
Mengenali Perilaku Obsesi dan Risiko Buruknya

Perilaku obsesi bisa membuat seseorang menjadi sangat cemas dan mengganggu kehidupan sehari-harinya


Cemas dan Stres Berkepanjangan Picu Sakit Jantung

16 hari lalu

Ilustrasi wanita stress. TEMPO/Zulkarnain
Cemas dan Stres Berkepanjangan Picu Sakit Jantung

Faktor munculnya sakit jantung bisa disebabkan akibat cemas atau stres yang berkepanjangan.