Representasi Tanah Liat dan Logam
Para perempuan perupa di balik pameran seni bertajuk Tiga Sisi: Jelajah & Media dalam konferensi pers pada Kamis, 13 Juni 2024. (Dari kanan) Theresia Agustina Sitompul, Ayu Arista Murti, Endang Lestari. Pameran itu digelar di Galer Nasional Indonesia mulai 14 Juni sampai 14 Juli 2024. TEMPO/Adinda Jasmine
Lain lagi dengan sang perupa, Endang Lestari. Dengan latar belakang seniman keramik, Tari melintasi batas-batas material dengan keahlian grafis yang menawan. Karya-karyanya bukan hanya representasi visual, tetapi juga refleksi mendalam dari interaksinya dengan tanah liat dan logam. Setiap sentuhan adalah sebuah dialog dengan alam semesta, menggambarkan keindahan yang tersembunyi dalam benda-benda sederhana, namun sarat makna.
“Media keramik, media logam itu adalah media yang ternyata sulit untuk dieksplorasi cukup dalam,” tutur Tari kepada Tempo. Dia menceritakan perjalanannya mengeksplorasi tanah liat dari berbagai daerah di Indonesia.
Melalui pengalaman yang berulang secara bertahun-tahun, Tari juga melakukan perenungan, koreksi diri dan merasa merangkai hubungan lebih dalam dengan Tuhan, sang pemilik semesta—karena karya seninya menggunakan tanah liat dan material bumi. Tak hanya tanah liat, Tari juga menjelajah medium lainnya dengan logam.
“Karena logam sendiri adalah material yang dekat dengan alam,” kata dia. Perjalanannya dengan medium tanah dan logam, pada akhirnya menghasilkan visual dengan pola lebih abstrak, namun menyelipkan kedalaman akan pengalaman sang perupa.
Seni Grafis Melalui Kertas Karbon
Adapun Theresia Agustina Sitompul, sejak tahun 2011, mengubah paradigma seni grafis dengan memperkenalkan kertas karbon sebagai medium utamanya. Sebuah pilihan yang tidak biasa, karena kertas karbon merupakan bahan kimia berbahaya. Dengan fokus pada jejak pribadi, barang-barang domestik, dan lingkungan sekitarnya, Theresia menciptakan komposisi yang mengundang interpretasi dan refleksi mendalam dari setiap pengamatnya.
Menariknya, di pameran kali ini, Theresia menggabungkan teknik cetak karbon dengan pakaian dalam, yang selama ini dianggap tabu untuk ditampilkan sebagai objek karya seni. “Saya mau berbagai persepsi ini bagaimana saya mengomposisikan barang-barang domestik tersebut dengan cetak karbon,” ujar Theresia, menjelaskan bagaimana karya-karyanya tidak hanya mencerminkan keunikan visual, tetapi juga mengundang dialog dan persepsi tentang isu-isu sosial yang relevan.
Menurut Theresia, dalam sebuah karya, setiap orang punya interpretasi yang berbeda. Menurut dia, itu hal yang wajar untuk memancing dan memantik eksplorasi karya dengan lebih dalam. “Dalam berkarya, kita bisa menggunakan sesuatu, sebuah, banyak hal, yang dekat dengan kita,” kata Theresia menambahkan.
Ketiganya, meskipun berbeda dalam latar belakang dan pendekatan, menyatu dalam semangat eksplorasi dan keberanian untuk mempertanyakan batasan-batasan tradisional seni rupa. Mereka bukan sekadar menciptakan visual yang memikat, tetapi juga membangun narasi yang mengundang perenungan dan dialog tentang eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam dan bahan-bahan di sekitarnya.
Pameran TIGA SISI bukan hanya sebuah perayaan visual, tetapi sebuah panggilan untuk menenggelamkan diri dalam keindahan, makna, dan kompleksitas dari setiap sentuhan kreatif yang mereka sajikan. Dari lukisan hingga daur ulang sampah, dari keramik hingga kertas karbon, mereka mengajak para penikmat seni untuk mengapresiasi nilai estetika serta perenungan yang dihadirkan melalui setiap karya mereka.
Pilihan Editor: Pameran Desain Harmonisasi dari Nusae di TIM sampai 16 Juni 2024, Tokoh Desain Jepang Turut Partisipasi