Tolak UPT TIM: Seniman Siap Kemah Sampai Bakar Karya Seni
Editor
Dian Yuliastuti
Kamis, 18 Juni 2015 14:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Komunitas seniman yang tergabung dalam Masyarakat Seni Jakarta kembali melakukan penolakan terhadap pengelolalan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki melalui Unit Pengelolaan Teknis TIM. Mereka meminta pemerintah tak terlalu mencampuri urusan pengelolaan seni dan seniman di pusat kesenian tersebut. Mereka juga menyiapkan berbagai langkah, mulai dari pendekatan lunak hingga aksi yang keras seperti membakar karya seni para seniman.
“Saat ini, apalagi sedang bulan Ramadhan, kami tidak mau ada gerakan emosional, yang kami butuhkan adalah konsolidasi,” ujar Aidil Usman, Koordinator Masyarakat Seni Jakarta, saat konferensi pers di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Rabu, 17 Juni 2015. “ tapi kami siap melakukan dengar pendapat dengan DPRD, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aksi Kemah Budaya.”
Dia menjelaskan konsep kemah budaya yang rencananya juga menghadirkan ratusan seniman. “Kemah Budaya ini kami akan undang seniman dari luar Jakarta, beberapa seniman juga akan membakar karyanya. Bahkan yang sudah dikoleksi pun akan di beli lagi dan dibakar,”ujar koreografer asal Padang ini.
Mereka mengkhawatirkan kebijakan Gubernur DKI melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 109 tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ TIM, akan mendegradasi fungsi Taman Ismail Marzuki .Mereka juga menilai adanya aroma proyek untuk mendapatkan keuntungan . Menurutnya pemerintah justru harus menjaga pusat-pusat kebudayaan seperti di Jerman, Singapura dengan pengelolaan yang lebih profesional. “Kembalikan pada pondasi awal ketika Bang Ali (Gubernur Ali Sadikin ) mendirikan TIM.”
Mereka berpendapat kurang maksimalnya pengelolaan PKJ Taman Ismail Marzuki karena salah urus, tidak adanya kapasitas dari para anggota Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta. Mereka dianggap tidak mengakomodir pikiran dan karya para seniman.
Ketika disinggung tentang pengelolaan pusat kesenian ini yang kurang professional, Aidil mengatakan Badan Pengelola TIM sudah melakukan tugasnya. “Tapi mereka masih perlu belajar mengacu pada pusat budaya internasional, tentang manajemen dan segala sesuatunya.”
Menurutnya dengan dipangkasnya tenaga yang selama ini bekerja di beberapa pusat kesenian seperti Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Miss Tjitjih, Wayang Orang Bharata malah akan memperburuk kondisi. Sebagai gantinya, pemerintah DKI Jakarta akan mengganti dengan puluhan pegawai negeri sipil.”Ini akan memperparah situasi, mereka tidak punya dasar. Tahu sendiri mental PNS,” ujarnya. Solusi yang ditawarkan, kata Aidil, harus ada semacam direksi yang akan memilih atau mengkurasi karya seni secara profesional.
Sastrawan Radhar Panca Dahana ikut bersuara dalam penolakan tata kelola ini. Menurutnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa mengubah dengan aturan yang sifatnya birokratis. Selama ini para seniman tersingkir oleh kepentingan kelompok kecil. Mereka akan mengajak bicara berbagai pihak seperti DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Harus berjumpa dengan kami, selama ini seniman teralienasi dan tersingkirkan. Bicara saja, tentau ada langkah-langkahnya,” ujar penulis esai sastra Dalam Sebotol Curhat ini. DIAN YULIASTUTI