TEMPO Interaktif, Jakarta - Mereka tak hanya cantik rupawan, tapi juga trengginas. Sepasukan perempuan berbaris rapat membendung junjungannya dari serangan tentara kompeni. Bilah panah tergenggam dan membentuk barisan separuh lingkaran.
Dialah Rubiyah, gadis desa yang dipersunting Raden Mas Said. Ia menjadi perwira laskar prajurit putri dan berjuluk Bendoro Raden Ayu Matah Ati. Disebut begitu karena lahir di Desa Matah. Melalui rahimnyalah, silsilah Istana Mangkunegaran diturunkan.
Ini kisah nyata. Atilah Soeryadjaya, penulis naskah, produser sekaligus sutradara pertunjukan tari kolosal Matah Ati ini berulangkali melakukan riset untuk mencari riwayat Rubiyah. "Tak banyak literatur yang menceritakan kisah Rubiyah," ujar Atilah.
Pertunjukan tari dengan konsep langendriyan, menari sambil menembang, itu dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 13-16 Mei ini. Pementasan ini yang pertama kali di Indonesia. Sebelumnya, Matah Ati pernah dipentaskan di panggung utama Esplanade, Singapura, Oktober tahun lalu.
Konsep cerita dan pembabakan tak ada perubahan. Tapi, detil adegan digarap lebih dalam pada pertunjukan kali ini. Seperti yang terlihat mencolok ketika pembabakan goro-goro. Dalam pertunjukan wayang, bagian ini tak lain sebuah intermezo.
Atilah menciptakan suasana pedesaan Matah yang khas dengan guyonan wong cilik. Empat tokoh perempuan mengisahkan keluh kesah rakyat kecil, dituturkan dalam campuran bahasa Jawa dan Indonesia dengan seloroh yang jenaka. Penonton pun tak henti-hentinya tertawa.
Jay Subyakto, sebagai penata artististik, menciptakan ini. Dua penari itu, salah satunya adalah pemeran Rubiyah yang diperankan oleh Rambat Yulianingsih, diangkat dengan tali. Tetapi sayang, teknologi yang dimiliki Teater Besar tak sepenuhnya bisa menyamai Singapura. Semestinya, kedua penari itu dibiarkan hilang di atas, namun kali ini panggung harus ditutup separuh agar kedua penari itu bisa turun kembali.
Adegan itu sangat mengganggu pandangan karena Fajar masih melakukan adegan pertapaannya. Apalagi, bayangan kedua penari tadi melepas tali ternyata terlihat jelas memantul dari lantai panggung yang terbuat dari metal.
"Saya lebih deg-degan main di Indonesia. Karena di Singapura, kami adalah pemain asing sehingga lebih percaya diri,” kata Jay.
Pertunjukan ini berlangsung dalam delapan babak dengan durasi 90 menit. Penari yang terlibat sebanyak 54 orang dan musisi gamelan yang dipimpin oleh pengrawit Blacius Subono sebanyak 24 orang. Seluruhnya dari Institut Seni Indonesia, Surakarta, Jawa Tengah.
ISMI WAHID