TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Publik Yogya bakal mendapat suguhan pameran instalasi dari tiga perupa yang telah mengikuti program residensi yang diselenggrakan Rumah Seni Cemeti. Pameran bertajuk “Hot Wave” ini menghadirkan karya perupa Lotte Geeven asal Belanda, Restu Ratnaningtyas (Indonesia), dan Tim Woodward (Australia).
Pameran berlangsung di dua tempat yakni di Rumah Seni Cemeti, 24 November hingga 1 Desember 2010 dan di Jogja National Museum, 24-26 November 2010. “Materi pameran merupakan hasil pencarian para perupa setelah menjalani program residensi selama tiga bulan,” jelas Direktur Rumah Seni Cemeti, Nindityo Adi Purnomo, Sabtu (20/11).
Tim, 25 tahun, perupa asal Brisbane, memilih hewan luwak menjadi inspirasi karyanya. Tim tertegun menyaksikan awetan luwak saat mengunjungi Museum Biologi Yogyakarta. Sebelumnya, Tim membayangkan satwa luwak ini begitu istimewa karena ia mampu menghasilkan kopi luwak yang harganya sangat mahal dan sangat tershohor di seluruh dunia.
“Tim kaget. Ternyata hewan yang menghasilkan kopi mahal itu justru sering diperlakukan secara tidak layak, seolah hewan yang tidak berharga,” jelas Nindityo.
Tim kemudian berjuang meminjam luwak awetan koleksi Museum Biologi Yogyakarta. Dia kemudian membuat lemari kaca untuk menempatkan luwak awetan tersebut. Luwak yang ditempatkan di dalam kotak kaca inilah yang kemudian dipamerkan Tim. “Usai pameran, lemari kaca itu akan disumbangkan ke Museum Biologi Yogyakarta,” papar Nindityo.
Restu, 29 tahun, membuat sebuah kubus besar dari kain putih. Pada masing-masing sisinya ia membuat lubang seperti jendela. Melalui jendela inilah pengunjung pameran bisa melongok ke dalam kubus. Nantinya, pengunjung akan menikmati animasi tentang suasana rumah tangga. Animasi itu terbuat dari gambar-gambar karya Restu dengan cat air yang kemudian digunting dan dibuat animasinya. “Dengan melongok ke jendela, pengunjung akan menikmati fantasi suasana rumahtangga,” jelas Nindityo.
Sedangkan Lotte, 30 tahun, mengusung aneka daun dan tanaman sebagai elemen karya isntalasinya. Uniknya, sebagian daun dan tanaman itu terbuat dari stereofoam. Namun, Lotte juga memadukan dengan daun dan tanaman segar.
“Karenanya, karya Lotte ini lebih bersifat temporer karena ia ingin pengunjung juga bisa menikmati kesegaran daun dan tananam. Karya ini menjadi kehilangan kekuatannya jika daun dan tanamannya sudah layu,” jelas Nindityo.
Menurut Nindityo, materi pameran ini merupakan hasil “pergulatan” tiga perupa itu selama tiga bulan mengikuti program residensi. Restu, kata Nindityo, terpaksa harus menolak undangan pameran di beberapa tempat karena harus berkonsentrasi menyiapkan karya program residensi ini. Sedangkan Lotte seolah menemukan situasi yang tepat karena sebagian materi pamerannya sebenarnya sudah dipersiapkan sejak masih di Belanda.
“Tim Woodward pada awalnya ingin menggarap alun-alun selatan sebagai publik area untuk karyanya. Setelah menjalani program residensi, ia justru tertarik dengan luwak dan melupakan alun-alun selatan,” kata Nindityo.
HERU CN