Sekonyong-konyong muncul gadis desa yang cantik di belakang mereka. Menggunakan kain jarik sederhana, namun tubuhnya dibungkus oleh jubah bunga melati sepanjang sepuluh meter rancangan Sri Astari Rasjid. Ia berjalan pelan sembari mendendangkan tembang-tembang Jawa. Sang gadis tampak begitu anggun.
Dialah Rubiyah, istri Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo. Di tangan Atilah Soeryadjaya, sosok Rubiyah menjadi tokoh sentral dalam sajian sendratari Matah Ati, yang berkisah tentang prajurit wanita di balik kebesaran Mangkunegaran. Pertunjukan perdana tari kolosal itu digelar di Esplanade, Singapura, Jumat dan Sabtu pekan lalu.
Atilah, sebagai sutradara dan perancang busana, ingin mengangkat biografi seorang Rubiyah yang selalu menemani Raden Mas Said dalam peperangan melawan penjajah Belanda. "Dulu kebanyakan perempuan hanya menjadi hiasan. Raden Mas Said mengubah itu, prajurit wanita harus terjun dan perang," ujar Atilah.
Alkisah, Rubiyah yang diperankan oleh Rambat Yulianingsih adalah gadis desa Matah yang cantik. Dalam masa akil balignya, ia selalu bermimpi menjadi junjungan ratu. Mimpi yang senantiasa membayangi itu segera ia tepis.
Hingga suatu ketika, ada pertunjukan wayang di desa tersebut. Saat orang-orang terlelap, Raden Mas Said, yang diperankan oleh Fajar Satriad, melihat gadis ini dengan pengasihannya (kemaluannya) yang bersinar. Tak lain adalah pertanda bahwa gadis ini adalah pilihan Sang Hyang untuk teman hidup Raden Mas Said. Diberikanlah ikat kepalanya agar menjadi penanda bahwa gadis itu terpilih.
Keesokan harinya, diutuslah punggawa kerajaan untuk mencari gadis itu. Tak tahunya, gadis ini adalah anak seorang kyai yang juga guru ngaji Raden Mas Said. Rubiyah telah jatuh hati pada Pangeran itu.
Di pesanggrahan tersebut, kemampuan Rubiyah dalam seni perang dijajal. Mereka berlatih bersama. Gerakan tari yang sungguh memukau. Rambat tak kalah maskulin dibanding Fajar. Meskipun demikian, Rambat tetap memperlihatkan keluwesan tari seorang perempuan pada gerakan-gerakan itu.
Pecah perang melawan pasukan Belanda terjadi. Prajurit wanita dan laki-laki turun ke medan laga. Rubiyah memimpin prajurit wanita dengan formasi setengah lingkaran. Formasi ini diambil Atilah saat mengunjungi makam keluarga kerajaan Mangkunegaran. "Makam Rubiyah dikelilingi oleh prajurit-prajurit wanita, membentuk setengah lingkaran," Atilah menjelaskan.
Adegan ini nampak sangat menarik. Direktur Artistik Jay Subyakto membuat panggung pertunjukan dengan kemiringan 15 derajat sepanjang 2,5 meter dari bahan metal. "Ketika perang terjadi, prajurit seperti berada pada kondisi perang yang melelahkan," kata Jay. Ya, mereka terengah-engah harus naik-turun panggung selama pertunjukan berlangsung.
Di tengah-tengah panggung, terdapat pintu yang bisa terbuka secara otomatis. Saat upacara perkawinan sekaligus pembaiatan Rubiyah menjadi panglima perang wanita, mereka berdua muncul dari balik pintu itu.
Tari kolosal berdurasi satu setengah jam ini memang bukan garapan yang ala kadarnya. Koreografi yang digarap oleh Daryono, Eko Supendi, dan Nuryanto, tetap memegang konsep langendriyan, yaitu gerakan tari khas Mangkunegaran. "Semua alat panggung dan properti seberat 30 ton dibawa dari Indonesia. Kami membawanya dengan kapal,," ujar Jay. Panggung metal serta properti seperti gunungan, janur kuning imitasi, serta kostum penari dipersiapkan dengan sangat detil.
Pihak Esplanade pun tak main-main. "Begitu panggung dijajal, ada seorang tenaga ahli dari sini yang menguji keamanan panggung itu," kata Atilah. Bahkan, semua kostum penari harus disemprot oleh bahan anti api. Kecuali kain yang dipakai penari utama karena umur kain yang sangat lawas, sekitar 97 tahun. Cairan anti api tersebut rupanya tidak bisa hilang oleh air.
Selama kurang lebih 6 bulan, Atilah meriset tokoh Rubiyah ini. Selain literatur yang ia dapatkan dari koleksi perpustakaan Mangkunegaran, Atilah juga mewawancarai para sesepuh, dan melakukan perjalanan ritual dengan melihat makam tokoh besar itu. "Memang tidak banyak detail tentang Rubiyah. Tetapi dalam setiap catatan tentang Raden Mas Said, selalu muncul tokoh Rubiyah ini," ujarnya menerangkan.
Atilah juga memilih tembang-tembang yang dilantunkan seperti yang ditemukan dalam literatur itu. Tembang dan musik kemudian diolah dengan sangat kontemporer oleh penembang Blacius Subono. Komposisi musiknya tak hanya berdasarkan musik tradisi, terkadang diubah menjadi kekinian.
Pementasan Matah Ati di Esplanade itu melibatkan 95 penari dan pengrawit. Boleh dibilang ini sebuah pertunjukan yang megah. Temanya juga menarik, mengangkat tokoh Rubiyah yang selama ini berperan besar akan sepak terjang seorang pangeran kerajaan. Pun sebagai rahim dari keluarga Mangkunegaran.
ISMI WAHID