TEMPO Interaktif, Magelang- Sayup api obor menerangi gelap malam di Studio Mendut Magelang, Rabu (28/7) tengah malam. Deras air sungai riuh memecah sunyi. Berpakaian serba hitam, sebelas seniman Komunitas Lima Gunung turun ke pelataran untuk memulai ritual. Mandi di kali, berdiang menghangatkan badan, hingga menggelar tarian dan mementaskan wayang.
Bertajuk Penghayatan Pada Kesunyian, ritual itu merupakan rangkaian dari Festival Lima Gunung yang saban tahun digelar. Untuk tahun ini, festival dijadwalkan digelar selama sepekan, dari 25 Juli kemarin hingga 1 Agustus mendatang. “Ini yang kesembilan,” kata Sutanto Mendut, yang akrab dikenal dengan sebutan Presiden Komunitas itu.
Tak seperti sebuah festival seni umunya -yang menghadirkan penonton dalam jumlah besar-, pementasan kali ini jauh dari meriah. Tak ada kursi penonton dan panggung ber-sound system dengan tata lampu mencukupi. Tak heran, festival pun sepi. Selain waktu pementasan yang ekstrim -tengah malam-, panitia pun hanya terbatas mengundang tak lebih dari sepuluh orang sebagai penonton. Pendek kata, jadilah pentas diam sepi penonton untuk malam itu.
Selama lima jam pementasan, para seniman memang tak bersuara. Bahkan rebab yang dimainkan Ismanto, seorang seniman pemain, pun tak berdawai. Memegang tongkat penggeseknya, dia berpantomin dengan ekspresi wajah puas mendengar merdu suara musiknya.
Ki Ipang, seorang seniman pemain lainnya, mengatakan pentas itu khusus dipersempahkan untuk menghayati malam. Tujuannya, mereka ingin berkontemplasi untuk menjernihkan hati dan pikiran. “Biarlah hanya ada suara alam,” kata dia, “Sungai dan hewan malam.”
Menurut Sutanto, pentas Penghayatan pada Malam adalah proyek eksperimental dan jauh dari standar. Sengaja dia lakukan untuk menerobos pakem yang selama ini menjadi acuan sebuah festival. Bagi dia, metode pementasan harus berkembang mengikuti gerak jamannya. Sehingga cara pementasan seni pun tak harus terpaku pada cara-cara konvensional. “Bukan segala-galanya, jadi tak perlu didewa-dewakan,” kata dia.
Perkembangan teknologi informasi, kata dia, telah menyediakan ruang baru bagi pementasan. Lewat jejaring sosial, semisal facebook dan twitter, orang bisa saling berbagi. Dan itu, lanjut dia, adalah sebuah pangung yang menjanjikan penonton tak terbatas dari seluruh belahan dunia.
Boleh jadi, kata dia, hanya ada 10 penonton langsung dalam pementasan malam itu. Namun sejumlah responden aktif di dunia maya telah bersedia mengabarkan secara on-line pementasan mereka. Diantara mereka Wardah Hafids (Urban Poor Consorsium) di Jakarta, Dorothea Rosa Herliany (seorang penyair asal Papua), dan Safitri Widagdo (antropolog di London) .
Pelanggaran terhadap pakem festival juga terlihat dari pembukaan Festival pada 25 Juli kemarin. Tak seperti tahun sebelumnya, yang sesuai nama Komunitas Lima Gunung Magelang, pembukaan kali ini digelar di pegunungan Menoreh yang masuk wilayah Kulonprogo Yogyakarta.
Komunitas Lima Gunung, kata dia, memang ada di Magelang. Namun seni adalah kebebasan. Sebuah kesenian tak bisa dikotak menjadi milik satu kelompok tertentu. Sehingga harus ada upaya terobosan baru terus menerus yang dilakukan agar kesenian itu menjadi berkembang.
ANANG ZAKARIA