Perupa Andy Dewantoro dan Davy Linggar saling menghadapkan karya-karya mereka dalam duet pameran bertajuk Cold Memories. Bertempat di Vivi Yip Art Room, Pejaten, Jakarta Selatan, pameran ini berlangsung hingga 30 Mei mendatang.
Andy adalah seorang pelukis yang cenderung memanfaatkan citra fotosinematis. Ia acap menggunakan fotografi sebagai cara merekam obyek, mengolahnya pada komputer, dan kemudian memindahkan obyek tersebut pada kanvas. Begitu juga dengan Davy. Ia adalah seorang fotografer yang juga melukis dan membikin obyek seni.
Keduanya menggunakan citraan fotografi untuk merekam realitas sebagai awal keberangkatan berkarya. Tak berhenti pada fotografi saja, mereka merekayasa obyek yang telah didapat sebagai tindak artistik visual ataupun kritik terhadap visualisasi tersebut.
Meski begitu, mereka memperlihatkan kecenderungan minat yang berbeda dalam menangkap obyek. Melalui lukisan terbarunya, Andy lebih banyak menghadirkan lanskap sebuah perkotaan yang pernah ia kunjungi. Karya lukisnya yang bertajuk Infinite Sadness #2 menggambarkan pemandangan gedung-gedung tua yang kosong dan terabaikan. Bangunan itu telah ditumbuhi semak belukar dan pepohonan yang hampir menutupi keberadaan bangunan tua tersebut. Obyek semacam ini banyak ditemukan di kota-kota besar, yang tak berpenghuni bertahun-tahun.
Menurut kurator Rifky Effendy dalam katalog, karya Andy dikenali secara khas dengan menghadirkan lukisan panorama sebuah lanskap kota saat senja menuju malam. Lampu-lampu kota menjadi kumpulan cahaya yang berupaya mengalahkan gelap. Memang gambaran kota itu bukan menunjukkan kota yang ia inginkan, tapi sebuah suasana yang menggunakan imaji tentang kota. Karena kota, bagi Andy, hanyalah sebuah media.
Bahkan, pada karya Infinite Sadness #3, Andy seolah ingin merekonstruksi ingatan kita terhadap suasana gedung, rumah yang kosong, yang tanpa kita sadari dekat di sekitar kita. Lukisannya memancarkan citra mental dengan memperlihatkan suasana sepi yang melankolis bercampur horor. Dalam beberapa bagian, Andy juga menampilkan bagian yang samar sehingga tak dimungkiri menambah kesan misterius dalam karyanya.
Akan halnya Davy, yang menghadirkan lukisan dan foto polaroid yang dipindahkan dalam kanvas. Ia membuat lelucon, sarkasme, bahkan ironi melalui citraan makhluk ataupun mainan binatang dengan perilaku aneh. Mainan tersebut kemudian ia foto dengan polaroid dan dipindahkan ke atas kanvas. Obyek yang ia tangkap adalah hal di luar kelaziman.
Coba tengok lukisan bertajuk Haram tapi Enak. Seekor dinosaurus yang sedang bersanggama dengan babi, sedangkan suasana gelap menyelimuti. Tak lain itu adalah ironi yang ingin disampaikan Davy atas kemunafikan manusia. Mereka mengharamkan, bahkan mencemooh sesuatu yang justru hal itu adalah penolakan dari hasrat mereka yang paling dalam.
Atau lukisan Killer Pig, yang menggambarkan seseorang yang memakai penutup kepala. Tangannya membuat simpul seperti pistol dan menodongkannya ke kepalanya sendiri. Davy seolah ingin mengatakan perburuan polisi terhadap orang-orang yang disangka teroris selalu berakhir dengan membunuh target seperti babi.
Davy adalah seorang fotografer sekaligus pelukis. Pengalamannya dalam dunia fotografi komersial dan dunia seni banyak berhubungan dengan beragam watak manusia dari pelbagai lapisan masyarakat.
Ya, karya Andy, juga Davy, tak lain adalah upaya merekonstruksi realitas yang mungkin bisa jadi manifestasi mereka terhadap sesuatu. Karya-karya yang mencoba memaksa ingatan kita untuk hadir di sana. Ingatan yang mungkin tidak kita sadari telah dingin lalu diajak melihat realitas yang berbeda.
ISMI WAHID