"Utang getih (darah), dibayar getih," kata lelaki berambut ikal gondrong itu. "Utang nyawa dibayar nyawa," teriak penonton mengikuti ucapan seperti rapal mantra tersebut. Gesekan tarawangsa berhenti, disusul kemudian suara distorsi gitar listrik yang meraung-raung.
Begitulah pembukaan unik kelompok Jasad, satu di antara 8 band underground Bandung yang berpentas pada Konser Musik Metal Terbesar di Indonesia, pagi hingga siang tadi. Bermain selama 30-40 menit, suara Man, vokalis Jasad itu selanjutnya makin tak jernih. Terdengar berat dilatari musik menderu, khas musik metal yang dinamis.
Konser yang digebrak oleh band pembuka Damons Damn sekitar pukul 10.00 WIB itu terus menggelegar hingga pertunjukan ditutup Burger Kill menjelang sore. Hujan deras setelah Forgotten, Savor of Fifth, Koil, Tcukimay, dan Jasad, turun panggung, tak membuyarkan sekitar 5.000 penonton dari lapangan becek. Tangan, kepala, kaki, semua bergerak seirama dengan hentakan musik.
Ya, suasana yang telah hilang sejak belasan tahun lalu itu seperti muncul kembali. Bagi pengusung dan penikmat musik metal, khususnya di Bandung, lapangan dan gedung olahraga yang terletak di Jalan Saparua itu seperti tempat sakral yang wajib dimeriahkan musik cadas. Di lapangan yang dikelilingi kompleks militer Kodam Siiwangi itu pula, tertancap dalam tonggak sejarah musik underground pada era 90-an. Anak-anak muda Bandung saat itu merasakan betul derasnya semangat kebebasan berkreasi dan berekspresi lewat musik.
Tapi perayaan bulanan itu akhirnya terhenti perlahan-lahan. Pengelola tempat tak lagi mengizinkan konser dengan dalih gedungnya sudah rapuh. Izin dari kepolisian juga makin seret. Puncaknya setelah 11 penonton konser band underground Beside tewas pada Februari 2008 lalu di dalam gedung Asia Africa Culture Center, Jalan Braga, Bandung.
Kasus itu berdampak luas menjadi pelarangan seluruh konser musik underground di Bandung. Salah satu yang merasakan getahnya adalah Tcukimay. Agar bisa tetap bertemu dengan 1.000 penggemarnya, band punk asal Bandung itu menggelar konser kecil-kecilan di gunung, sambil kemping bersama 50-an fans. "Kami bawa perlengkapan musik terus main aja," kata Lookass, vokalis band berambut Mohawk itu.
Menurut Lookass,dibandingkan dengan saat diundang konser di luar kota, seperti Pontianak atau beberapa daerah di Jawa Timur, perizinan kepolisian Bandung lebih sulit turun. Saat briefing dengan aparat menjelang konser itu beberapa hari lalu, mereka diminta tak melontarkan kata-kata kasar dan provokatif. Tak cuma itu, sebuah lagu mereka berjudul Sia ( bahasa Sunda kasar yang berarti kamu), dicekal polisi.
Lookass menyatakan, lirik dalam lagu itu berisi kemarahan dan kebencian yang dirasakannya. Lantas, darimana polisi bisa tahu lirik lagu itu? "Mungkin dari petugas yang sering datang ke konser kami atau dari teks di album," katanya.
Kekecewaan itu ia alihkan ke 4-5 lagu lain yang boleh dinyanyikan. "Tunjukkan jari tengah kalian dan ucapkan f*** ##u," teriak Lookass saat di atas pentas. Seorang penonton ada yang berseloroh, "Penyelenggara acara ini kepolisian, karena mereka banyak mengatur ini-itu."
Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Komisaris Besar Imam Budi Supeno mengatakan, soal adanya peredaman semburan kata-kata kasar dan provokatif dalam briefing aparat dengan pengisi panggung. Dia pun membenarkan adanya pencekalan lagu band underground tersebut dan permintaan agar penonton tak saling membenturkan badan lewat moshing.
Komisaris Besar Imam, yang datang dengan pakaian sipil, memantau konser itu dari sisi kiri panggung sejak siang. Menurut dia, aturan itu diberlakukan agar penonton tak ricuh di tengah kawalan 700 petugas kepolisian di dalam dan di luar arena.
Hingga menjelang konser usai, dia menilai pertunjukkan berjalan aman dan tertib. Apakah izin konser underground seperti itu selanjutnya akan lebih mudah? "Tidak begitu, kita lihat dulu dari hasil evaluasi (konser ini) nanti," ujarnya. Izin ketat musik underground, katanya, masih diberlakukan sejak tragedi tewasnya 11 penonton di Bandung.
Ya, raungan musik underground Bandung mungkin masih harus tiarap di bawah tanah.
Anwar Siswadi