TEMPO Interaktif, Jakarta: Balon bertebaran di panggung Teater Salihara, Jakarta. Bukan balon biasa, tapi kondom-kondom yang ditiup. Di dekat kaki dalang Slamet Gundono ada nasi tumpeng berhias kondom-kondom, yang juga membungkus berbagai elemen pertunjukan. Komunitas Wayang Suket, pada Jumat-Sabtu malam lalu, mempersembahkan Wayang Kondo M. Cebolang Minggat.
Pengembaraannya sarat pengalaman moral, berahi lintas batas, hingga pengalaman spiritual. Cebolang bertualang dengan nafsunya, mencicipi segala rasa. Di titik jenuhnya, ia bertemu Gatoloco, si buruk rupa bertutur elok. Pada akhirnya, Cebolang pulang ke rumah dengan ilmu bernama cinta.
"Pementasan Cebolang dimulai empat tahun lalu, di Taman Budaya Solo," kata Inandiak kepada Tempo seusai pertunjukan. Lalu dengan berbagai perkembangan dan perubahan, kata dia, lakon yang sama dipersembahkan pula di Yogyakarta dan Bandung.
Malam itu, sebagian besar pertunjukan berlangsung dalam bahasa Jawa. Inandiak, duduk di sisi Slamet, membacakan narasi-narasi pengantar kisah dalam bahasa Indonesia. Ada pula tujuh pemusik kerap merangkap pula sebagai pemain. Juga Ida Lala, pesinden yang kebagian memerankan sejumlah tokoh, disertai tarian, di beberapa bagian lakon.
Pertunjukan sekitar dua jam itu sarat unsur komedi. Slamet memasukkan unsur-unsur kekinian dalam berbagai celetukan. Misalnya sindiran terhadap teknologi komunikasi, fatwa ulama, bahkan Ponari. Dalam sebuah penggambaran tentang betapa mempesonanya Cebolang, Slamet menuturkan sindiran, "Wartawan juga kalau mendengar Cebolang jadi lupa menulis. Harusnya menulis kabar benar, malah jadi terbalik."
Menurut Slamet, elemen tradisional wayang tetap ia sertakan dalam lakon kontemporernya. Misalnya unsur "goro-goro" yang hadir dalam bentuk kelucuan yang membuat penonton terbahak-bahak. "Saya minta (pemain) melawak, itu kekuatan goro-goro," ujarnya. Tentunya ada pula nasihat-nasihat kontekstual yang disampaikan sebagaimana pertunjukan wayang umumnya.
Slamet Gundono dan Elizabeth Inandiak memang ingin menghadirkan lakon yang menunjukkan Centhini tak sepotong-sepotong. "Opera Centhini tak mungkin, karena akan terlalu panjang," ujar Slamet. Maka lakon Cebolang dipilih karena dinilai lengkap. "Ada cakap sufi, cakap hutan, rakyat, sedemikian komplet," Slamet menambahkan.
Dalam masa kini, Cebolang hadir dalam kehidupan remaja yang tumbuh "liar". Teknologi, kata Slamet, membuat remaja bisa meniru bermacam-macam gaya hidup. Keliaran yang bahkan melebihi Cebolang. "(Keliaran) Cebolang masa kini tidak hanya dalam hal syahwat, tapi segalanya," ujar Slamet. Keliaran itu, bila arahnya tepat, akan mengantar remaja menemukan kedewasaan yang lebih dalam.
IBNU RUSYDI