TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia adalah kemajemukan. Hari-hari ini, kebhinnekaan itu tengah diuji. Ia mendapat tantangan dari dua jenis fundamentalisme: pasar dan fasisme. Kita sedang ditelikung kekuatan-kekuatan yang mengancam.
Dalam pidato bertajuk "Kita, Sejarah, Kebhinnekaan", Gung Ayu, demikian ia biasa disapa, mengkritik pengajaran sejarah di sekolah-sekolah yang sekadar kronologis. Pelajaran sejarah, kata dia, mestinya tampil seperti Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer di mana sejarah tampil sebagai riwayat. "Mungkin karena itulah, Tetralogi Buru lebih laku," ujar Gung Ayu.
Pemegang gelar master of arts University of Wisconsin-Madison, AS, itu juga memaparkan soal perjuangan perempuan. Menurut dia, perjuangan kaum perempuan beroleh angin setelah Soeharto ambruk. Era Habibie memberi pintu-pintu bagi legislasi yang menjunjung perempuan. Misalnya mengadopsi pidana kekerasan dalam rumah tangga, keterwakilan perempuan di parlemen, ke dalam perundangan.
Belum usai perjuangan perempuan itu, sepuluh tahun setelah reformasi, kini bangsa ini dijepit dua kekuatan: fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Neoliberalisme menimbulkan kecemasan, ketakpastian. Fasis berjubah agama lalu datang menawarkan janji penyelamatan dan surga.
Lagi-lagi perempuan menjadi obyek penderita. Pasar bebas menjadikan TKW sebagai komoditas. Di sisi lain, fundamentalis agama melihat perempuan sebagai sumber kebejatan. "Lagi-lagi, tubuh perempuan menjadi taruhan," tuturnya.
Lalu bagaimana para seniman dan budayawan bisa bertindak menghadapi fundamentalisme itu? Dalam benak Gung Ayu, ide "perlawanan" itu tak bisa berjalan sendiri. "Harus ada wadah keterkaitan gagasan, harus ada platform gerakan," kata Gung Ayu kepada Tempo, usai pidato itu. Seniman dan budayawan harus duduk membicarakannya. Dari situ diharapkan terbentuk sebuah kekuasan yang punya gigi.
Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya yang memberi sambutan sebelum pidato itu mengatakan, kekuatan-kekuatan pengancam pluralisme itu kontraproduktif dengan usaha membela dan merawat kebhinnekaan. Padahal, "Kita ingin menjadi bagian dalam masyarakat dunia, bukan katak dalam tempurung," ujarnya.
Malam itu, di atas pentas, tak hanya berisi hujan kata-kata. Disana juga ada geliat nada dari I Wayan Balawan. Bersama seorang basis dan drumer, ia menyajikan komposisi modern dengan unsur etnik. Gitar Balawan yang berefek mengeluarkan nada pentatonik gamelan. Bas dengan nada-nada mayor menjembataninya dengan ritme jazz sang drumer.
Ibnu Rusydi