Bait-bait puisi seperti tak henti berdengung di langit Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari lalu. Di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kudus sekitar 500 penggiat sastra dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul. Mereka bersilaturahmi, membaca puisi, serta berdiskusi tentang estetika dan komunitas sastra. Kegiatan itu diadakan Komunitas Sastra Indonesia bekerja sama dengan Jarum Bakti Pendidikan.Acara tersebut diawali dengan kongres komunitas itu pada Sabtu kemarin yang akhirnya memilih Ahmadun Yosi Herfanda sebagai ketua umumnya. Lalu, malamnya diadakan dialog interaktif tentang komunitas sastra dengan narasumber penyair Sutardji Calzoum Bahri, kritikus sastra Maman S. Mahayana, Direktur Utama
RRI Parni Hadi, Surya Yoga dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Adi Suyatno dari Lembaga Pertahanan Nasional.Dalam dialog yang disiarkan oleh
RRI secara nasional itu mengemuka wacana untuk lebih memperhatikan sastra komunitas, tidak hanya komunitas sastra. Sastra komunitas, menurut Parni Hadi, adalah karya-karya sastra yang ada dalam komunitas di masyarakat, misalnya sastra tradisi. Karya-karya seperti itu jarang muncul. Ia berharap kongres komunitas sastra itu bisa menjadi tonggak kebangkitan sastra komunitas.Usai dialog, acara beralih ke pembacaan puisi. Sejumlah sastrawan yang tampil antara lain Sutardji Calzoum Bahri, Jumari H.S., Thomas Budi Santoso, Sudjiwo Tedjo, dan KH Mustofa Bisri. Malam itu ditampilkan pula kesenian tradisi dari Kudus. Tengah malam, pentas baru ditutup, tapi orang-orang tetap berada di sana hingga dini hari.Besoknya, acara berganti dengan seminar sastra selama sehari penuh. Ada sejumlah pembicara yang tampil, antara lain Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mayahana dari Universitas Indonesia, Korie Layun Rampan, Habiburrahman el Shirazi, dan Shiho Sawai dari Tokyo University of Foreigh Studies.Ada beragam topik yang dikedepankan, yakni "Komunitas Sastra sebagai Basis Ideologi Kesusastraan", "Komunitas Sastra sebagai Basis Estetika Penciptaan", "Sastra dan Kebutuhan Masyarakat Pembaca", dan "Perayaan Komunitas Sastra di Daerah". Salah seorang pembicara, Shiho Sawai, mengatakan komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas Indonesia.Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atau sejumlah orang yang bertujuan melakukan kegiatan sastra, seperti menerbitkan, membaca, mendengar, serta membahas teks sastra. Kelompok semacam ini sudah eksis di Nusantara sejak zaman kolonial, supaya orang bisa mendapat akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama saat kebanyakan orang kesulitan memperoleh buku.Setelah Orde Baru runtuh, jumlah komunitas sastra bertambah drastis dengan kegiatan yang makin beragam. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warga negara. Selain itu, didorong oleh perkembangan sosial yang memungkinkan bertambahnya orang yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa membaca dan menulis.Adapun Ahmadun Yosi Herfanda melihat komunitas sastra, disadari dan diumumkan ataupun tidak atau menggelinding begitu saja, merupakan tempat pengembangan sebuah ideologi kesusastraan. Bagi komunitas sastra yang bersikap menggelinding saja atau yang terlalu moderat dalam menyiasati "ideologi kesusastraan", persoalan ideologi di dalamnya akan cenderung mencair.Sementara itu, komunitas yang dengan sadar berada pada ideologi tertentu, semacam agenda perjuangan, ideologi yang dipilihnya akan cenderung mengental. "Sejarah membuktikan bahwa gerakan sastra yang tidak memiliki landasan ideologi yang kuat akan sulit melahirkan suatu karya besar," kata Ahmadun. Sebab, dia menambahkan, mereka tidak memiliki semangat juang untuk memenangkan ideologi tersebut.Setelah seminar yang melelahkan selama sehari penuh itu, kembali puisi diperdengarkan pada malamnya. Ada sejumlah penyair yang membaca puisi, antara lain Yose Rizal Manua, Sosiawan Leak, Gunoto Saparie, Fatin Hamama, dan Fikar W. Eda. Pertunjukan baca puisi ditutup dengan wayang Klitik. Malam itu, juga diluncurkan buku berjudul
Komunitas Sastra Indonesia, yang berisi kisah perjalanan komunitas sastra tersebut, beserta karya-karya para anggotanya berupa puisi, cerpen, dan esai.Senin, 21 Januari, pagi, bait-bait puisi kembali menggema di langit Kudus. Dalam wisata budaya, sejumlah sastrawan kembali membaca puisi. Kali ini bukan di pentas biasa, melainkan di ruang pabrik rokok kretek PT Jarum, di tengah-tengah ribuan buruh yang tengah melinting rokok. Tidak hanya membaca puisi di panggung yang telah disediakan, sejumlah penyair membaca puisi sambil berkeliling menyambangi para buruh itu. Bahkan ada yang mengajak para buruh turut serta dalam atraksi pembacaan puisi."Ini pertama kalinya penyair membaca puisi di dalam pabrik, di tengah-tengah buruh yang sedang bekerja," kata Wowok Hesti Prabowo, pendiri KSI, yang punya ide mengadakan pembacaan puisi di pabrik itu. Ide itu lalu disampaikan kepada Direktur PT Jarum Thomas Budhi Santoso. Thomas, yang juga dikenal sebagai penyair, mempersilakan pembacaan puisi itu. Maka puisi pun meraung-raung di pabrik rokok. MUSTAFA ISMAIL