Gubernur DKI Jakarta, Jokowi Widodo. ANTARA/Rafiuddin Abdul Rahman
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo tidak bisa meninggalkan kecintaanya dengan musik metal. Akan tetapi, Jokowi sadar dia harus menjaga citra dengan tidak lagi melakukan heandbang atau moshing di konser musik keras.
"Tapi saya menolak duduk manis di bangku kelas VIP. Bagi saya, menonton metal itu ya harus di kelas festival, berdiri bersama ribuan penonton lain. Di sanalah suasana konser terasa. Itulah yang saya pilih saat menonton konser Iron Maiden di Jakarta dua tahun lalu," kata Jokowi dikutip dari Majalah Tempo edisi 19 Agustus 2013.
"Saya memang lebih menyukai musik keras yang datang dari 1970-an akhir hingga 1980-an. Meski demikian, saya masih bisa menyukai sejumlah lagu Lamb of God. Tapi, untuk musik nu-metal yang lahir pada akhir 1990-an, seperti yang dinyanyikan Linkin Park, saya sama sekali tidak bisa menikmatinya," tutur Jokowi.
Jokowi mengaku terkagum-kagum pada aksi panggung Judas Priest kala itu. Salah satunya ketika lampu panggung mati dan pengunjung mendengarkan suara musik yang diiringi suara lain yang lebih garang. Deruman itu mengiringi dentuman drum. Bersahut-sahutan. Saat lampu dinyalakan, penonton tahu deruman itu berasal dari suara sepeda motor besar Harley-Davidson yang gasnya diputar-putar oleh sang vokalis, Rob Halford. "Luar biasa, karena suara knalpot bisa menjadi bagian dari musiknya," sahut Jokowi.
Konser itu berlangsung di Fort Canning Park. Ini adalah gedung konser dengan lantai miring, sehingga penonton di bagian belakang lebih tinggi posisinya daripada penonton di depan. Biasanya konser rock di Singapura berlangsung di gedung konser berkapasitas 10 ribu orang ini. "Saya berharap Jakarta segera memiliki gedung konser yang layak seperti Fort Canning Park dan sejumlah gedung konser lain yang dimiliki Singapura. Sebenarnya, sejak 1960-an, Bung Karno sudah merencanakan pembangunannya, tapi tak kunjung terlaksana," kata ayah tiga anak ini.
Menurut Jokowi, saat ini pemerintah DKI Jakarta merencanakan pembangunan sebuah opera house berkapasitas lebih dari 9.000 penonton. Saat tak ada konser besar, tempat itu bisa disekat-sekat untuk pertunjukan di panggung-panggung yang lebih kecil. "Kami awalnya merencanakan pembangunannya di kawasan Marunda--yang nanti akan ditata ulang hingga lebih baik. Namun, banyak kalangan menyarankan tempatnya dipindah karena Marunda terlalu jauh dari pusat kota. Saya yakin bisnis pertunjukan musik di Indonesia masih sangat menjanjikan dan, karena itu, perlu fasilitas yang baik."