TEMPO Interaktif, Jakarta: Rektor Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Soeprapto Soedjono memotret orang-orang yang tidur pulas, dari Bantul, Taipei, Detroit, hingga Barcelona. Dan ia memamerkannya di Jogja Gallery.
Bagaimana memastikan orang sedang terlelap tidur? Cobalah teliti wajahnya. Mata biasanya mengatup, otot wajah kendur, kadang mulut terbuka, yang disertai dengkuran halus atau keras. Ciri-ciri visual itulah yang sebagian besar tampak pada karya foto Soeprapto Soedjono, yang dipamerkan di Jogja Gallery, 21 Maret-5 April. Ia memberi judul pameran ini <I>& zzzzzzz& Photography<I>.
Ada seorang pria paruh baya mengenakan busana Jawa dengan blangkon menutupi kepala terlelap di atas kursi di Sewon, Bantul, Yogyakarta. Di Makassar, seorang pemuda berbalut <I>T-shirt<I> hitam bergambar pria berambut mohawk terkulai nyaman dengan mulut menganga di atas becak. Di Taipei, seorang pria kaukasia berambut kuning mengenakan jas lengkap, kepalanya terkulai di sandaran kursi bus dalam posisi kepala menengadah. Otot wajahnya tertarik ke bawah dengan bibir setengah terbuka.
Soeprapto Soedjono, 60 tahun, menjepret momen ketika manusia secara psikis tenggelam dalam ketidaksadaran, sehingga reaksi fisiknya terbebas dari semua kungkungan nilai sosial. Kaki penarik becak tadi bergelayut di atas penyangga tangan di kursi penumpang di tengah keramaian orang lalu-lalang atau air liur mungkin merembes dari mulut seorang pria beralaskan tas tertelungkup lelap di atas lantai Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Bahkan seorang pria terkulai di tangga bangunan dengan tangannya menelusup ke dalam celana bagian depan di Kyoto. Tidur membuat perilaku paling pribadi bisa disaksikan secara publik.
Soeprapto memburu orang tidur dalam perjalanannya di Indonesia dan saat dia bepergian ke luar negeri. Kamera Rektor ISI, Yogyakarta, ini membidik perempuan muda berbikini di bibir Pantai Kuta, Bali, hingga perempuan tua <I>berjarik<I> di emperan Pasar Ngasem, Yogyakarta. Atau seorang perempuan Asia terlelap di sebelah anaknya di ruang tunggu di Detroit, Amerika Serikat, hingga seorang pria terbaring di dekat sepedanya yang terkunci di Barcelona.
Ketertarikan Soeprapto kepada momen orang tidur muncul ketika ia berburu obyek foto di Solo untuk pameran berjudul <I>Solo di Mata Orang Jogja<I>. Suprapto terkesan ketika ia menemukan sejumlah orang tertidur di ruang publik pada siang hari. Ia berpikir apakah orang-orang itu terlelap karena begadang di malam hari. Solo memang dikenal dengan kehidupan malamnya, sehingga dijuluki "kota yang tidak pernah tidur". Realitas itu kemudian ia pelesetkan menjadi "Solo tidak pernah tidur, kecuali siang hari".
Sejak itulah ia punya kebiasaan menjadikan orang tidur sebagai sasaran kameranya. Tapi kebiasaan itu membuat Soeprapto cenderung mendorong dia secara naluriah segera menekan tombol rana kameranya ketika ia melihat ada orang sedang tertidur. Pada saat itu, Soeprapto sekadar seorang wisatawan yang membawa kamera foto. Ia tak berusaha menampilkan suasana lain di sekitar orang yang tertidur dengan memanfaatkan teknik fotografi.
Akibatnya, orang-orang yang tertidur itu seperti teralienasi dari hiruk pikuk ruang publik. Momen yang ditangkap Soeprapto, misalnya, seorang perempuan yang mengenakan <I>jarik<I> diminta berpose memejamkan matanya dan di sekitarnya disusun barang dagangan, kemudian "klik!". Lalu jadilah foto yang sejatinya bisa diabadikan di dalam studio. Padahal, perempuan itu ada dalam keramaian pasar.
Soeprapto pun cenderung menampilkan momen yang seragam. Sebagian besar karyanya menampilkan <I>gesture<I> khas orang tertidur, dengan mata terpejam dan tubuh bersender atau terbaring. Hanya beberapa karya yang muncul dengan cara berbeda.
Tengoklah foto seorang pria rapi mengenakan kemeja lengan panjang putih dengan celana bergaris setrika. Ia mengenakan sepatu olahraga dan kaus kaki putih. Ia duduk tafakur--wajahnya tak terlihat--dengan kedua tangan tergenggam. Hanya Soeprapto yang tahu bahwa pria di ruang tunggu di Detroit ini sedang zzz... zzz... zzz... atau sedang khusyuk berdoa.
RAIHUL FADJRI
Bagaimana memastikan orang sedang terlelap tidur? Cobalah teliti wajahnya. Mata biasanya mengatup, otot wajah kendur, kadang mulut terbuka, yang disertai dengkuran halus atau keras. Ciri-ciri visual itulah yang sebagian besar tampak pada karya foto Soeprapto Soedjono, yang dipamerkan di Jogja Gallery, 21 Maret-5 April. Ia memberi judul pameran ini <I>& zzzzzzz& Photography<I>.
Ada seorang pria paruh baya mengenakan busana Jawa dengan blangkon menutupi kepala terlelap di atas kursi di Sewon, Bantul, Yogyakarta. Di Makassar, seorang pemuda berbalut <I>T-shirt<I> hitam bergambar pria berambut mohawk terkulai nyaman dengan mulut menganga di atas becak. Di Taipei, seorang pria kaukasia berambut kuning mengenakan jas lengkap, kepalanya terkulai di sandaran kursi bus dalam posisi kepala menengadah. Otot wajahnya tertarik ke bawah dengan bibir setengah terbuka.
Soeprapto Soedjono, 60 tahun, menjepret momen ketika manusia secara psikis tenggelam dalam ketidaksadaran, sehingga reaksi fisiknya terbebas dari semua kungkungan nilai sosial. Kaki penarik becak tadi bergelayut di atas penyangga tangan di kursi penumpang di tengah keramaian orang lalu-lalang atau air liur mungkin merembes dari mulut seorang pria beralaskan tas tertelungkup lelap di atas lantai Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Bahkan seorang pria terkulai di tangga bangunan dengan tangannya menelusup ke dalam celana bagian depan di Kyoto. Tidur membuat perilaku paling pribadi bisa disaksikan secara publik.
Soeprapto memburu orang tidur dalam perjalanannya di Indonesia dan saat dia bepergian ke luar negeri. Kamera Rektor ISI, Yogyakarta, ini membidik perempuan muda berbikini di bibir Pantai Kuta, Bali, hingga perempuan tua <I>berjarik<I> di emperan Pasar Ngasem, Yogyakarta. Atau seorang perempuan Asia terlelap di sebelah anaknya di ruang tunggu di Detroit, Amerika Serikat, hingga seorang pria terbaring di dekat sepedanya yang terkunci di Barcelona.
Ketertarikan Soeprapto kepada momen orang tidur muncul ketika ia berburu obyek foto di Solo untuk pameran berjudul <I>Solo di Mata Orang Jogja<I>. Suprapto terkesan ketika ia menemukan sejumlah orang tertidur di ruang publik pada siang hari. Ia berpikir apakah orang-orang itu terlelap karena begadang di malam hari. Solo memang dikenal dengan kehidupan malamnya, sehingga dijuluki "kota yang tidak pernah tidur". Realitas itu kemudian ia pelesetkan menjadi "Solo tidak pernah tidur, kecuali siang hari".
Sejak itulah ia punya kebiasaan menjadikan orang tidur sebagai sasaran kameranya. Tapi kebiasaan itu membuat Soeprapto cenderung mendorong dia secara naluriah segera menekan tombol rana kameranya ketika ia melihat ada orang sedang tertidur. Pada saat itu, Soeprapto sekadar seorang wisatawan yang membawa kamera foto. Ia tak berusaha menampilkan suasana lain di sekitar orang yang tertidur dengan memanfaatkan teknik fotografi.
Akibatnya, orang-orang yang tertidur itu seperti teralienasi dari hiruk pikuk ruang publik. Momen yang ditangkap Soeprapto, misalnya, seorang perempuan yang mengenakan <I>jarik<I> diminta berpose memejamkan matanya dan di sekitarnya disusun barang dagangan, kemudian "klik!". Lalu jadilah foto yang sejatinya bisa diabadikan di dalam studio. Padahal, perempuan itu ada dalam keramaian pasar.
Soeprapto pun cenderung menampilkan momen yang seragam. Sebagian besar karyanya menampilkan <I>gesture<I> khas orang tertidur, dengan mata terpejam dan tubuh bersender atau terbaring. Hanya beberapa karya yang muncul dengan cara berbeda.
Tengoklah foto seorang pria rapi mengenakan kemeja lengan panjang putih dengan celana bergaris setrika. Ia mengenakan sepatu olahraga dan kaus kaki putih. Ia duduk tafakur--wajahnya tak terlihat--dengan kedua tangan tergenggam. Hanya Soeprapto yang tahu bahwa pria di ruang tunggu di Detroit ini sedang zzz... zzz... zzz... atau sedang khusyuk berdoa.
RAIHUL FADJRI
