TEMPO.CO, Denpasar - "Setiap kali saya mau menulis nama saya sendiri. Tangan saya selalu keselo menulis kata babi," tutur Gusti Made Aryana saat tampil di Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Sabtu, 26 Agustus 2017.
Baca: 350 Orang Ikut Festival Orang Kembar di Banyuwangi
Gusti adalah seniman pedalangan yang bermonolog dalam acara itu. Ia duduk di kursi. Ada lilitan tali di sandaran kursi itu. Gusti berbicara dengan nada tegas, matanya melotot. Sesekali kelakar membuat pementasan monolog berjudul Babi terkesan cukup jenaka. "Monolog juga bagian dari unsur pedalangan," katanya.
Setelah penampilan Gusti, lampu dipadamkan. Gelap menyesap panggung. Dentingan piano berirama musik jazz merambat ke telinga penonton. Suara isak tangis di pojok panggung berpadu dengan lantunan lagu Sarah Vaughan berjudul Once in a While.
Ayik Pradnya duduk di atas kloset memulai pentas monolog berjudul Mila. Tiba-tiba terdengar suara mengetuk. "Iya sebentar," dua kali ia menjawab, namun suara ketukan itu semakin banyak. Lampu menyala, ia mendadak tertawa, kemudian ia berjalan mondar-mandir sambil menenteng tas di bahu sebelah kiri. "Ada yang mau pakai kamar kecil. Sudah kosong sekarang," ujarnya kemudian tertawa.
Ayik Pradnya mementaskan monolog berjudul Mila. Tawa dan tangis mewarnai penampilannya selama 25 menit itu. "Naskah Mila ini menarik, karena ada permainan emosional yang melompat-lompat. Kisah ini perempuan yang berpura-pura bahagia," katanya.
Dua pementas monolog itu, Gusti Made Aryana dan Ayik Pradnya datang dari komunitas teater 108. Pementasan mereka disutradarai Kurniawan Adiputra, atau yang akrab disapa Curex.
Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya dipentaskan secara maraton di seantero Bali. Acara yang digagas oleh dramawan Putu Satria Kusuma itu dimulai pada Maret lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Kabupaten Buleleng. Perjalanan festival monolog karya Putu Wijaya akan berakhir Desember. Monolog 'Babi', kemudian 'Mila' adalah pementasan yang ke-36. "Memanaskan aktor untuk terus terampil dan supaya teater tidak mati," ucap Putu Satria Kusuma.
Bagi Satria 'Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya' diadakan untuk menghormati sosok sastrawan yang lahir di Tabanan, 11 April 1944 itu. Para aktor monolog bukan dari kalangan dramawan saja. Perupa dan dalang juga memeriahkan pementasan monolog.
Menurut dia pementasan teater tidak perlu bergantung dengan acara pemerintah. "Itu cenderung terbatas dan hanya bisa dinikmati pemilik relasi kekuasaan maupun birokrat seni," tuturnya.
Sudah kali keempat festival ini dilakukan di tempat berbeda di Denpasar. Pada Mei lalu di Denpasar, seniman Cok Sawitri tampil memainkan monolog berjudul Indonesia. Sawitri membawakan monolog dengan gaya Arja Siki, opera khas Bali.
Dari 100 pementasan monolog Putu Wijaya, 62 diadakan di Singaraja, Kabupaten Buleleng. "Di Buleleng, Putu Wijaya mengenal teater modern," kata Satria. Penutupan festival akan dilakukan di Kabupaten Tabanan. Di sanalah Putu Wijaya lahir 73 tahun lalu.
BRAM SETIAWAN