TEMPO.CO, Bandung - Leo Kristi dan penggemar lagu-lagunya berkawan akrab. Tak hanya saat bertemu di acara konser musik Konser Rakyat Leo Kristi tapi juga dalam jalinan kehidupan sehari-hari. “Interaksinya sangat cair, seperti itulah konser rakyat yang sebenarnya,” kata Asmuji, salah seorang penggemar karya musik Leo Kristi, Ahad, 21 Mei 2017.
Ia tak hanya menyukai syair lagu dan idealisme karya Leo yang memberikan inspirasi hidup. Asmuji pun mengagumi sosok musisi kelahiran Surabaya, 8 September 1949 itu. Musisi ini dinilainya tegar dan kokoh dalam mengarungi dunia musiknya dengan corak folk song dan balada.”Tidak kompromi dan takluk pada selera pasar,” ujarnya.
Komunitas penggemar karya Leo Kristi selalu mengundangnya untuk konser di waktu khusus seperti Hari Kemerdekaan atau Kebangkitan Nasional. Dengan dana swadaya tanpa sponsor, Leo meriung dan bernyanyi bersama. Selain bermusik, ia melukis, dan berkelana ke berbagai tempat, biasanya seorang diri. Cerita perjalanannya kerap menyelip di sela-sela konser. “Dia biasa singgah di mana pun, kadang tinggal di rumah penggemar,” kata Asmuji. Kalau tidak di rumah orang, Leo tidur di taman kota,atau stasiun.
Leo belakangan memilih tinggal di Bandung, berpindah pindah di rumah kawannya. Salah satunya di rumah Hendi alias Mang Oben, penggemar karya musik Leo Kristi. Di sana pernah tinggal selama lima bulan. Di rumahnya, Leo latihan musik, bermain gitar, bermain bola dengan anaknya, makan seadanya, juga mengobrol tentang dirinya, anak, serta karya lukisan. Mang Oben sempat adu argumentasi gara-gara cara mengguratkan pastel. Namun itu tak berkepanjangan. Leo, selain bermusik memang sering menumpahkan energi kreatifnya dengan melukis.Oben juga menuturkan, Leo sering keliling kota berjalan kaki pada petang atau malam hari. Ia juga sering kali pergi keluar kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Bali.
Di mata Mang Oben, Leo tergolong orang yang serius dan kurang humoris. Tak banyak orang yang bisa masuk ke dunianya.Menurutnya selama lima tahun terakhir ini, ia berkelana sambil memikirkan kondisi negara. Leo juga orang yang bandel dalam urusan kesehatan, apalagi jika harus berurusan dengan dokter. Hingga akhirnya dia pun harus dirawat karena penyakit yang dideritanya terlambat ditangani.
Sementara penggemar lainnya, Ken Atik juga punya kisah sendiri. Ia terkesan oleh musisi yang ramah dan suka tersenyum ini. Namun begitu, ia pernah dibuat jengkel oleh Leo. Saat itu ia pernah bekerja sama dengan Leo saat konser di Aula Timur ITB pada 2010. Saat itu Ken bertugas sebagai koordinator acara. “Janjian ketemu malah pergi ke mana, janji latihan tiba-tiba pergi. Mungkin itu caranya dia supaya orang harus sabar,” kata pengajar Seni Kriya Tekstil dan Desain Produk di dua kampus swasta di Bandung itu.
Keakraban terjalin hingga Ken menjenguk Leo yang terbaring di rumah sakit. Tangannya digenggam kuat saat bersalaman sambil berbincang hangat. Saat itu Leo menyatakan ingin makan buah anggur tanpa biji. Ken mencarinya hingga jauh. “Tujuh butir dimakan dan dinikmatinya betul,” ujarnya.
Musisi bernama asli Leo Imam Sukarno itu berpulang Ahad dinihari, 21 Mei 2017 sekitar pukul 00.45 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Diantar penggemar dan keluarganya, musisi pengelana itu dimakamkan di Bekasi. “Karya-karya lagunya dengan syair unik, memandang dan mencintai Indonesia dari sudut yang beragam,” kata Ken.
ANWAR SISWADI