TEMPO.CO, Jakarta - Setelah sukses mementaskan Hakim Sarmin di Taman Budaya Yogyakarta pada 29-30 Maret 2017, Teater Gandrik bakal kembali mementaskan lakon tersebut di Jakarta. Rencananya, lakon yang naskahnya ditulis oleh Agus Noor dan diproduseri Butet Kartaredjasa itu akan dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 5-6 April 2017.
Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation yang menyokong pementasan ini mengatakan Hakim Sarmin dikemas dalam bentuk baru yang lebih segar. Pertunjukan yang disutradarai G. Djaduk Ferianto kali ini terasa spesial, bukan saja karena menyisipkan dialog dalam bentuk lantunan-lantunan lagu, namun juga karena isu yang dibawakannya begitu kontekstual.
Teater Gandrik dibentuk pada 12 September 1983 di Yogyakarta, sebagai bagian dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Dalam perjalanannya, periode 1980-1990 merupakan tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan, seperti: Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu.
Teater Gandrik menyuguhkan tema-tema sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan “guyon parikena”, yaitu sindiran secara halus, seperti mengejek diri sendiri. Seni peran dengan gagasan Teater Gandrik ini, oleh beberapa kritikus, disebut sebagai estetika sampakan, di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung “memain-mainkan karakter”, sehingga tak ada batasan yang jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”.
"Pementasan Hakim Sarmin yang memadukan dialog dan musik ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi generasi muda mengenai proses dan perkembangan kebudayaan sehingga mampu membangun jiwa yang penuh dengan semangat kebangsaan,” ujar Renitasari dalam keterangan tertulisnya.
Lakon Hakim Sarmin dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim memilih masuk rumah sakit jiwa yang disebut Pusat Rehabilitasi. Para hakim yang menolak masuk Pusat Rehabilitasi, dikabarkan mati terbunuh dan mayatnya dibuang ke lubang buaya. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan.
Pimpinan Pusat Rehabilitasi, Dokter Menawi Diparani (diperankan oleh Susilo Nugroho) mengatakan, telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. “Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar,” ujarnya.
Lakon ini mengisahkan sebuah zaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” begitu kata Hakim Sarmin (diperankan oleh Butet Kartaredjasa) dengan gayanya yang khas.
Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Di satu sisi, proyek rehabilitasi ini dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi wabah kegilaan, tapi pada sisi lain dianggap pemborosan anggaran.
Dokter Menawi Diparani dianggap tak lagi bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa yang dipimpinnya, ketika para hakim itu mulai menggerakkan “Revolusi Keadilan”.
Pemberontakan hakim ini melibatkan Komandan Keamanan, Pak Kunjaran Manuke (diperankan oleh Fery Ludiyanto), seorang politisi muda yang ambisius, Bung Kusane Mareki (diperankan oleh M. Arif “Broto” Wijayanto); dan seorang pengacara yang menjadi penasehat Pimpinan Kota, Sudilah Prangin-angin (Citra Pratiwi). Sementara Pimpinan Kota Mangkane Laliyan (G. Djaduk Ferianto) sendiri makin terlihat lelah karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh.
Agus Noor mengatakan lakon ini mencoba membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut-marut hukum ini akan menjadi lakon yang kocak dan penuh satir ketika dimainkan di atas pentas. "Guyonan dan adegan demi adegan yang ditampilkan dengan gaya Teater Gandrik akan membuat lakon Hakim Sarmin ini menjadi tak sekadar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita harus memikirkan kembali kewarasan kita,” ujar Agus Noor.
Pementasan Hakim Sarmin melibatkan para seniman Indonesia, antara lain Purwanto (Penata music), Ong Hari Wahyu (Penata artistic), Rully Isfihana dan Jami Atut Tarwiyah (Penatan Kostum), Dwi Novianto (penata cahaya), Antonius Gendel (penata suara), dan tim lain yang turut berkontribusi untuk pementasan ini.
NUNUY NURHAYATI