TEMPO.CO, Denpasar - Berawal dari kritik terhadap permasalahan sampah di Bali, seniman Made Bayak, 36 tahun, membuat sebuah karya seni melalui medium plastik. Bayak menggagas serangkaian proyek seni rupa itu bertajuk “Plasticology”.
Dalam acara Mabesikan Festival: Art for Social Change yang merupakan kumpulan pameran seni, pertunjukan musik, lokakarya kreatif, serta nonton dan diskusi film, Bayak menyajikan instalasi Museum of Plasticology. Ada 40 karya Plasticology hasil kerajinan tangan murid-murid Sekolah Dasar (SD) 3 Manukaya, Desa Tampaksiring, Gianyar, yang dipajang dalam acara tersebut.
Sejak memulai eksperimen Plasticology pada 2010, Bayak sering berbagi ilmu kepada anak-anak. "Pada 2011, saya sudah mulai memberi workshop kepada anak-anak dan komunitas," katanya saat penyelenggaraan Mabesikan Festival: Art for Social Change di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Ia menjelaskan, ketika anak-anak diajak membuat seni lukis media plastik, ada beberapa tahapan untuk menanamkan nilai edukasi. "Pada proses awal workshop, anak-anak mulai memungut sampah (plastik) di sekitar mereka, lalu dicuci dan dikeringkan. Ini membangun dasar pemikiran mereka untuk menyelesaikan masalah (sampah), dan bisa terangkum dalam masa kecil untuk mereka bawa ke depannya," ujarnya.
Menurut dia, saat anak-anak mulai mencoba membuat karya seni lukis (plasticology), Bayak tidak menentukan tema apa pun. "Pembuatan karya anak-anak lebih mengalir, malah saya jadi lebih banyak dapat masukan. Biasanya anak-anak suka gambar pemandangan dan ogoh-ogoh," tutur gitaris grup musik Geekssmile itu.
Pegiat Komunitas Bibit Hijau Batubulan Wayan Suja, 40 tahun, bersama 15 anak-anak turut mewarnai instalasi Museum of Plasticology dengan menampilkan barong plastik. Ia mengatakan komunitas tersebut mewadahi kreativitas anak-anak untuk mendaur ulang sampah plastik menjadi karya seni.
"Barong dekat dengan anak-anak karena mereka bisa terlibat untuk membuat dan memainkannya. Sejak 2011, ruang berkumpul kami semakin mengalir karena aktif menyuarakan Bali Tolak Reklamasi (BTR)."
Suja menjelaskan, komposisi barong plastik karya anak-anak komunitas Bibit Hijau Batubulan terdiri dari kantong plastik dan botol bekas air mineral. "Bagian kepala menggunakan bubuk kertas dan bekas kardus," katanya.
Instrumen musik pengiring barong ketika ditarikan juga menggunakan barang tak terpakai, yaitu kaleng dan galon bekas. "Anak-anak sangat antusias karena gelisah terhadap lingkungannya yang semakin tidak nyaman terkontaminasi sampah. Ruang bermain mereka sudah mulai hilang," tuturnya.
BRAM SETIAWAN