TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah seniman dan aktivis di Bali terlibat dalam Mabesikan Festival: Art for Social Change di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Sabtu, 22 Oktober 2016. Festival kumpulan pameran seni, pertunjukan musik, lokakarya kreatif, serta nonton dan diskusi film yang diadakan lembaga nirlaba Search for Commond Ground (SEARCH) ini, mencoba memfasilitasi kolaborasi berbagai pihak untuk memahami isu sosial lewat pendekatan seni.
Ada beragam isu sosial yang menjadi perhatian, di antaranya konflik lahan, sumber daya, kekerasan berbasis gender, dan inklusivitas sosial. Salah satunya, film berjudul Nyat karya Direktur Denpasar Film Festival (DFF) Agung Bawantara yang menyuguhkan krisis air di Bali.
Baca Juga:
Usai pemutaran film, Agung menjelaskan, film dokumenter berdurasi selama 30 menit itu disajikan persis seperti karya jurnalistik. "Jadi, kami seperti wartawan yang memaparkan secara cover both side, tinggal penonton yang memberi penilaian," ujarnya di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Ia menambahkan, penyajian tersebut dinilai cukup tepat untuk memaparkan persoalan krisis air yang besar. "Sebenarnya, film ini sekaligus riset karena proses pembuatannya lebih dari satu tahun," tuturnya.
Agung mengatakan sesungguhnya krisis air adalah isu global. Adapun penggunaan kata “nyat” sebagai judul adalah untuk menunjukkan sisi lokalitas pembuatan film, yaitu di Bali. "Nyat dalam bahasa Bali artinya surut. Nah, medium Bali itu sekalian jadi warning yang langsung menyasar ke persoalan," ujarnya.
Menurut Agung, yang menjadi persoalan besar mengenai krisis air di Bali adalah kekuasaan industri pariwisata yang semakin gencar menyedot air untuk kepentingan privatisasi. Sedangkan, kata dia, air adalah bagian dari ritual-ritual keagamaan di Bali yang seharusnya bisa dinikmati seluruh masyarakatnya.
"Setiap hari, kita membeli air yang kita rawat sendiri. Orang Bali merawat air dengan upacara. Ada perusahaan besar datang menyedot saja. Sumbernya diambil dari milik negara dan kita beli dengan harga yang relatif mahal. Banyak kepentingan politis dan ekonomis," ucapnya.
Agung menuturkan, Nyat belum mencakup semua daerah di Bali, termasuk Nusa Penida. Rencananya, ia akan merevisi film tersebut. "Kami melihat ada beberapa strategi cara penyampaian film ini, yaitu dua versi, besar dan pendek. Misalnya, untuk SMA atau warga desa. Jadi kami akan dalami sembari memperhalus versi panjangnya," ujarnya.
Fatima Gita Elhasni, salah satu penonton mengatakan film Nyat menginspirasi dirinya yang juga menggeluti ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah. "Angle yang bagus. Saya jadi lebih belajar bagaimana cara menusuk (kritik) yang halus," kata siswi kelas tiga SMA 3 Denpasar itu.
Adapun Bob Situmorang, penonton lain, menilai film ini disajikan cukup menarik. "Menarik juga pasti membosankan karena sudah tertusuk (masalah krisis air) duluan. Ini kritik untuk kita semua," tuturnya.
BRAM SETIAWAN