TEMPO.CO, Banda Aceh - Riuh tepukan penonton tak henti saat group rapai, Thaharah naik ke panggung, Senin malam 29 Agsutus 2016. Mereka membawakan musik-musik yang berkisah, dari konflik panjang sampai tsunami menghumbalang Aceh. Lalu Aceh bangkit, semuanya dengan alunan tabuhan rapai.
Penonton selalu ramai saban malam, terutama di Taman Ratu Safiatuddin Banda Aceh, saat Aceh International Rapai Festival 2016 berlangsung sejak 26 Agustus sampai 30 Agustus 2016. Mereka dihibur penampilan 30 puluhan group musik rapai dari Aceh, nasional dan lima negara.
Pada Senin malam, setelah Group Thaharah turun panggung, giliran sanggar Cut Mutia dari Aceh Utara menunjukkan ketrampilannya. Para penabuh menari, berjingkrak dan bergerak. Lalu panggung diisi oleh group Rapai Grimpeng Cem Pala Kuneng dari Pidie.
Rapai Grimpheng tampil dengan alunan musik dipadukan syair dari seorang syech (pemimpin), yang mengisahkan berbagai kondisi sosial di Aceh. Seperti laiknya penyanyi dengan ragam alat musik modern.
Henny, salah seorang yang menonton pertunjukan malam itu mengakui terhibur, karena lama tak melihat pertunjukan rapai. Selain yang benar-benar tradisional juga ada yang dipadukan dengan alat musik modern. "Apalagi banyak group musik yang ikut tampil," ujarnya.
Usai penampilan dari Aceh, tim dari Makasar naik ke panggung. Dua penabuh gendang atau rapai memainkan irama khas daerah mereka. Penonton bersorak riuh. “Ini gandrang Makasar, biasa dimainkan untuk menjemput tamu,” kata Basri, pemainnya. Dia mengaku baru pertama kali ke Aceh, untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Usai Makasar, giliran group musik Cina yang ditunggu warga. Group kesenian yang mewakili Negeri Panda itu bernama Miladomus. “Kami sekarang berbasis di Indonesia,” kata Anes Guo, Pimpinan Sekolah Musik Miladomus.
Mereka tampil dengan perkusi atau rapai yang dipadukan dengan kecapi Cina dan bas. Kecapi dimainkan dengan lihai oleh Eni Agustien, pemrakarsa dan sekaligus Kepala Guru Guzheng Sekolah Musik Miladomus.
Kecapi Cina itu bernama Gu Zheng yang merupakan alat musik tertua yang biasa ditampilkan pada acara-acara kenegaraan. “Tapi zaman sekarang Gu Zheng sudah mulai berkembang dan ditampilkan pasa acara-acara kebudayaan seperti even ini,” katanya.
Selain membawa alat musik tradisional Cina, para personil Miladomus tampil dengan pakaian tradisional bernama Cheong San (pakaian laki-laki) dan Dynasti Han (pakaian perempuan). “Kami mempersiapkan diri sebulan untuk even ini,” kata Anes. Mereka mampu menghibur warga dan diajak bertepuk tangan mengikuti alunan musik.
Sebelumnya Aceh International Rapai Festival 2016 juga dimeriahkan oleh penampilan grup musik perkusi dari Malaysia, Jepang, Thailand dan Iran. Juga peserta dari provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Makasar dan Surabaya.
Dari Thailand misalnya, ada Absolutely Thai membawakan Klong Yaw, tarian pergaulan muda mudi Thailand, dengan menggunakan alat musik perkusi. “Klong Yaw berarti long drum. Alat musik ini digunakan sebagai musik utama yang mendukung tarian Klong Yaw,” kata Kung Kung, personel group itu.
Pada malam pembukaan, Jumat malam pekan lalu, ada rapai kolosal dengan menampilkan 150 penabuh rapai dari berbagai komunitas di Aceh.
Kepala Dinas Pariwisata Aceh, Reza Fahlevi menyebutkan Rapai International Festival merupakan upaya Pemerintah Aceh dalam melestarikan nilai tradisi khususnya musik etnik Aceh. Di samping itu, event skala internasional itu sekaligus untuk meningkatkan kapasitas pelaku seni budaya di Aceh.
"Selain penampilan panggung ada couching clinik dan seminar untuk saling tukar pengalaman para seniman antarnegara untuk menambah wawasan pelaku budaya," ujarnya.
Festival juga menjadi momentum yang tepat untuk memperkenalkan Aceh sebagai salah satu destinasi wisata halal di Indonesia bagi dunia.
ADI WARSIDI