TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia akan menggelar kembali festival internasional seni pertunjukan kontemporer, yaitu Art Summit Indonesia. Festival ini berlangsung untuk yang kedelapan kalinya dan akan digelar di delapan kota di Indonesia. Pembukaannya akan dilaksanakan Senin, 15 Agustus 2016.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan gelaran acara ini akan dilaksanakan pada 2016 dan 2017. Art Summit Indonesia kali ini untuk membaca ulang peta dan perubahan dunia seni pertunjukan. Hal ini mengingat seni pertunjukan di Indonesia belum mendapatkan tempat di panggung pertunjukan internasional.
“Acara ini semacam penyesuaian tubuh dulu, akan mengembangkan lebih banyak ide sebelum disajikan ke publik tahun depan,” ujar Hilmar saat konferensi pers di Auditorium Gedung A Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis, 11 Agustus.
Delapan kota yang akan menjadi ajang acara adalah Padang, Jakarta, Solo, Yogyakarta, Padangpanjang, Bandung, Denpasar, dan Makassar. Selain lokakarya, ada pula ceramah untuk publik dan pertunjukan yang menghadirkan para akademikus, seniman, dan komunitas seni. Mereka adalah Peter Eckersall (profesor Asian Theatre-Amerika Serikat), Toshiki Okada (penulis naskah dan sutradara dari Jepang), Michio Arimitsu (peneliti dan kritikus tari asal Jepang), Takao Kawaguchi (koreografer dan penampil dari Jepang), Jonas Baes (komponis musik tradisi dari Filipina), Chong Kee Yong (komponis Malaysia), Edi Sedyawati (seniman budayawan Indonesia), F.X. Widaryanto (seniman dan penulis seni Indonesia), Melati Suryodarmo (seniman penampil Indonesia), Ugoran Prasat (kandidat doktor kajian teater di City University of New York), dan Venuri Perera (penari dan koreografer Sri Lanka).
Acara ini dikuratori sejumlah praktisi seni, seperti Yudi Ahmad Tajudin, Helly Minarti, Nyak Ina Raseuki, Nungki Kusumastuti, dan Otto Sidharta. Menurut Yudi, mereka memilih delapan kota untuk Art Summit karena di tempat itu terdapat beberapa perguruan tinggi seni. Selain itu, untuk mengajak masyarakat terlibat dalam kegiatan. “Tidak hanya karena ada perguruan tinggi, apalagi di kota-kota tersebut juga mempunyai kantong-kantong komunitas seni,” kata Yudi.
Yudi juga menjelaskan, salah satu hal yang difokuskan dalam seni pertunjukan ini adalah masalah dramaturgi. Sebab, selama dua dekade penyelenggaraan acara telah banyak terjadi perubahan dalam seni pertunjukan.
Otto Sidharta menjelaskan, kurator juga mengundang seniman dan pakar seni dari luar negeri untuk memberikan perbandingan dan wawasan yang lebih luas dari pelaku seni di dalam negeri. Hal ini mengingat potensi Indonesia yang sangat besar.
Acara ini pertama kali diselenggarakan pada 1995 yang digagas oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati sebagai acara untuk mengundang seniman pelaku seni pertunjukan kontemporer dari berbagai negara. Juga sebagai ruang pertemuan untuk mereka berbagi pengalaman, pengetahuan, serta membangun jaringan kerja yang lebih intensif.
DIAN YULIASTUTI