TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang perempuan buruh gendong mengacungkan cat semprot ke tembok di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ia berumur 60 tahun tapi masih gigih bekerja. Rambut putihnya digelung. Ia mengenakan jarit dan sandal jepit.
Perempuan kurus itu berdiri seusai mengangkut beban berkilo-kilo melampaui berat tubuhnya. Selendang menyampir di tubuhnya. Kain membebat perutnya.
Seniman jalanan (street artist) Digie Sigit, memindah gambar buruh gendong itu ke papan baliho bercat merah yang menjadi mural dengan teknik stensil. Di Pasar Beringharjo, Digie mengobrol dengan pekerja perempuan itu dan memotret sang buruh. "Tanpa pengakuan negara, ibu-ibu buruh gendong terus kuat bekerja menghidupi keluarganya," kata Digie Sigit kepada Tempo, Ahad malam, 19 Juni 2016.
Digie menyemprotkan cat ke papan dengan iringan suara musik melalui perangkat elektronik yang dimainkan seniman musik M. Thoriq Dwi Prayitno. Digie menempatkan muralnya di depan Studio JOkJA yang berdiri di pinggir Jalan Bugisan Selatan Nomor 13 A. Ini merupakan studio yang didirikan secara bersama oleh seniman yang menggunakan teknik stensil. Tempat bekerja dan diskusi seniman itu sudah ada sejak tiga tahun lalu.
Seniman yang menggagas studio tersebut adalah Digie Sigit, Wimbo Wiharso, dan Teguh Hertanto. Karya Digie akan dipajang di depan studio itu selama tiga bulan ke depan. Menurut dia, dua pekan lalu ia ke Pasar Beringharjo untuk bertemu perempuan buruh gendong.
Bagi dia, buruh itu mewakili kerasnya kehidupan perempuan pekerja. Upah yang mereka terima tak sebanding dengan beban yang menimpa tubuh-tubuh renta mereka. Meski begitu, mereka tak menyerah dan terus bekerja.
Visual buruh gendong perempuan dalam mural Digie mendongak. Ia menyemprotkan cat pada papan bertuliskan “masa depan adalah hari ini, mari kita perjuangkan!”. Seperti pada karya-karya Digie sebelumnya, muralnya lugas.
Ia dikenal dengan karya-karya mural yang sarat kritik sosial. Misalnya, pengisapan ekonomi oleh pemilik modal melalui warung cepat saji. Muralnya banyak menghiasi sudut-sudut kota, kampung-kampung, dan persawahan.
Lewat karya itu, Digie ingin menyampaikan ke masyarakat tentang situasi kebangsaan saat ini. Indonesia, kata dia, sejak era reformasi 1998 hingga sekarang, punya seabrek persoalan yang belum rampung.
Beberapa di antaranya ketidakadilan ekonomi, kerusakan alam, korupsi, intoleransi, dan hukum yang tidak adil. Lewat karya itu, Digie berharap ada refleksi terhadap situasi sekarang. "Mari berpikir bahwa masa depan adalah hari ini. Menabung harapan bersama dan hidup seperti yang diimpikan," ujarnya.
Ia juga menyindir ruang publik Yogyakarta yang penuh baliho di sudut-sudutnya. Papan reklame di pinggir jalan itu menguasai ruang khalayak. Isi reklame bermacam-macam di antaranya ajakan untuk bergaya hidup konsumtif.
Baliho-baliho tersebut menjamur seperti hutan dan diletakkan secara serampangan. Selain di depan Studio JOkJA, Digie memasang mural di jembatan Universitas Gadjah Mada, kawasan Jalan Taman Siswa, dan Nitiprayan.
Pada pertengahan Agustus 2014, Digie datang ke Austria untuk memperkenalkan sejumlah karyanya, yang menunjukkan solidaritas untuk Bali Tolak Reklamasi kepada orang Austria.
Bersama Hans-Dieter Manhartsberger, seniman Austria, Digie menciptakan karya kolaborasi dengan gambar utama perempuan penari Bali. Karya kolaborasi itu digunakan sebagai gambar utama perangko di Austria.
Seniman street art Wimbo Wiharso mengatakan seniman seni jalanan diperbolehkan untuk menempatkan karyanya pada papan di halaman Studio JOkJA. Karya seniman yang pernah dipasang di papan itu di antaranya mural ciptaan komunitas seni Anti-Tank dan Moan Snake. "Mereka bebas meletakkan karya sesuai dengan karakter masing-masing," kata Wimbo.
SHINTA MAHARANI