TEMPO.CO, Pamulang - Banyak cara untuk mewarnai dan memaknai ramadan. Lembaga Literasi Indonesia (Litera) mengadakan Ngabuburit Sastra dan Tadarus Puisi. Kegiatan yang digelar di Griya Litera di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Sabtu, 18 Juni 2016, itu dihadiri sejumlah sastrawan yang berdomisili di Jabodetabek.
Sastrawan yang hadir, antara lain, Kurnia Effendi, Fikar W. Eda, Asrizal Nur, Dianing Widya, Humam S Chudori, Zaenal Radar, Uki Bayu Sedjati, Abah Yoyok dan Ace Sumanta.
Baca Juga:
Acara dimulai dengan diskusi “Sastra dan Manusia Religius”. Tampil sebagai pembicara eseis Mahrus Prihany, Ketua Dewan Kesenian Banten Chavchay Saifullah dan penyair LK Ara. Salah satu hal yang disorot dalam diskusi itu adalah soal konsistensi para sastrawan antara karya dan perbuatan. Misalnya, ada penyair yang bikin puisi tentang tahajut. “Namun ia tidak tahajut,” kata Chavchay.
Mahrus Prihany menjelaskan bahwa sejumlah teks dalam Islam sesungguhnya adalah syair alias puisi. Ia juga mengungkapkan bahwa sastra sangat berperan dalam membentuk manusia religius. Adapun LK Ara menjelaskan soal keberadaan sastrawan sufi Hamzah Fansuri dan Teungku Chik Pantee Kulu dalam menginspirasi orang lain dengan puisi-puisi mereka.
Selain diskusi, dalam kesempatan itu juga diperkenalkan (soft launching) buku puisi terbaru LK Ara berjudul “Kau Pergi”. Sebagai tanda peluncuran, buku itu diserahkan secara simbolis kepada lima sastrawan. Direncanakan peluncuran resmi sekaligus diskusi buku puisi dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) itu dilakukan di kawasan Jakarta Timur pada hari ini, Minggu, 19 Juni 2016.
Usai pengenalan buku, kegiatan dilanjutkan dengan tadarus puisi. Para sastrawan bergantian membaca puisi dengan cara duduk seperti bertadarus. Sebagian penyair membacakan puisi Syair Perahu karya Hamzah Fansuri. Ada pula yang membacakan puisinya sendiri dan milik penyair lain.
Direktur Lembaga Literasi Indonesia Ahmadun Yosi Herfanda mengatakan acara itu diadakan untuk mereaktualisasi semangat religius dalam bersastra. “Manusia, fitrahnya adalah religius. Begitu juga ketika bersastra, terutama dalam berpuisi, semangat religius akan mewarnai karya-karyanya,” katanya.
Ia berharap diskusi kecil itu dapat mengembalikan kesadaran akan pentingnya sastra religius sebagai asupan batin bagi manusia yang memang memiliki fitrah religius. “Setidaknya, sebagai pengimbang bagi kecenderungan sastra yang cenderung hanya mengabdi pada estetika.”
MUSTAFA ISMAIL