TEMPO.CO, Yogyakarta - Sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Boikot Art Jog 2016 mendesak panitia bursa pasar seni terbesar di Indonesia itu mengembalikan uang sponsor Rp 100 juta dari perusahaan tambang Freeport. Art Jog berlangsung di Jogja National Museum, 27 Mei-27 Juni 2016, dan diikuti setidaknya 72 seniman.
Koordinator umum Aliansi Boikot Art Jog, Nasir, mengatakan Aliansi Boikot tidak anti atau menolak kegiatan seni apa pun. Namun mereka menolak seni yang tak berperikemanusiaan. Kegiatan seni Art Jog, yang memamerkan karya seni tentang kemanusiaan, kata Nasir, menjadi kontraproduktif karena menggandeng Freeport.
Sebab, menurut aliansi itu, Freeport dan perusahaan yang merusak lingkungan lainnya adalah sumber masalah. Aliansi Boikot akan berdemonstrasi memboikot Art Jog di Titik Nol Kilometer ujung selatan kawasan Malioboro, Yogyakarta, dilanjutkan berjalan kaki menuju Jogja National Museum di Gampingan, Kamis sore, 16 Juni 2016. "Kami mengajak masyarakat memboikot Art Jog," kata Nasir, Rabu malam, 15 Juni 2016.
Aliansi juga mendesak penyelenggara Art Jog bertanggung jawab atas terlibatnya Freeport dan perusahaan yang merusak lingkungan sebagai sponsor kegiatan. Mereka juga menuntut Art Jog memutus kontrak dengan Freeport dan menolak perusahaan itu ikut campur dalam aktivitas kesenian di berbagai wilayah di Indonesia.
Mereka pun mengimbau penyelenggara kegiatan seni dan seniman tidak bekerja sama dengan Freeport dan perusahaan yang sedang disorot masyarakat karena merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. "kami kecewa dengan panitia Art Jog," ucap Nasir.
Aliansi Boikto, dalam rilisnya, mengkampanyekan kepada masyarakat menolak kebudayaan yang menindas. Mereka mengutip penyair penting Indonesia, W.S. Rendra, yang menyatakan apalah arti kesenian bila terlepas dari derita lingkungan.
Menurut aliansi, penderitaan rakyat Papua terlihat dari tidak menentunya nasib mereka. Hakekatnya, kata Nasir, penderitaan rakyat Papua merupakan penderitaan semua rakyat Indonesia. Aliansi menuding terjadi intimidasi, pembunuhan, dan pengisapan terhadap rakyat Papua sejak Freeport beroperasi di Indonesia.
Nasir mengatakan, demi memperlancar dan mengamankan eksploitasi kekayaan alam Papua, melalui kekuatan uang, Freeport membeli tenaga keamanan negara seharga US$ 14 juta per tahun. "Dengan dalih pengamanan, mereka dibayar untuk membunuh saudara sendiri," kata Nasir.
Menurut Aliansi, meski rakyat Papua mengalami serangkaian kekerasan, perjuangan dan perlawanan terus berlanjut sampai saat ini. Solidaritas dan kesadaran datang dari berbagai pihak atas dampak buruk praktek eksploitasi sumber daya alam Papua. Aliansi juga berpendapat, kegiatan seni Art Jog, yang melibatkan Freeport, punya tujuan memutihkan kesalahan perusahaan tersebut.
Sebelumnya, Direktur Art Jog, Heri Pemad, menyatakan tidak akan mengembalikan uang sponsor Rp 100 juta dari Freeport Indonesia. Ia sudah mengikat komitmen dengan perusahaan itu. Karena itu, tidak mudah buat panitia Art Jog menghentikan perjanjian di tengah penyelenggaraan kegiatan. "Jika kami menghentikan sponsorship Freeport, bisa kena masalah hukum," kata Heri Pemad.
SHINTA MAHARANI