TEMPO.CO, Yogyakarta - Seni grafis di Indonesia kurang mendapat tempat ketimbang seni lukis dan patung. Sebagian kolektor malas mengoleksi karya pegrafis karena ukurannya yang kecil dan bahan kertas yang dinilai gampang rusak. Syahrizal Pahlevi, Pegrafis yang juga dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun ini kembali menghidupkan seni grafis yang kurang populer.
Tengoklah bienal cetak mini kedua atau The 2nd Jogja International Miniprint Biennale di Sangkring Art Project Yogyakarta, 24 Mei-10 Juni 2016. Temanya adalah Homo Habilis, yang mempertanyakan hilangnya craftmanship dan kekuatan atau keajaiban tangan dalam karya-karya kontemporer saat ini. “Kali ini jumlah pemenang lebih banyak ketimbang tahun lalu,” kata Syahrizal kepada Tempo, Sabtu, 28 Mei 2016.
Pameran itu menyajikan 110 karya dari 77 seniman asal 28 negara. Di antaranya Australia, Austria, USA, Argentina, Belgia, Swedia, Bazilia, Mexico, Jepang, dan Jerman dan Indonesia. Karya mereka dilombakan dan melibatkan tiga juri.
Mereka terdiri dari Agung Kurniawan, bersama Sujud Dartanto dan Andang Suprihadi. Ada 49 seniman internasional dan 28 seniman Indonesia yang menjadi finalis. Juri telah menetapkan lima pemenang. Mereka adalah Deborah Chapman dari Canada, Dimo Kolibarov dari Bulgaria, Paolo Ciampini dan Silvana Martignoni dari Italia, dan Weronika Siupka dari Polandia.
Karya Paolo Ciampini berjudul The Woman menggunakan citraan perempuan telanjang yang sedang duduk menyamping. Ia Paolo menggunakan warna sepia, warna coklat bercampur abu-abu. Visual karya itu tampak lawas. Ada pula karya Dimo Kolibarov dari Bulgaria yang menggambarkan bocah yang memeluk ikan berwarna oranye. Karya berjudul Cycle The Diary of A Child-The Golden Fish itu menyajikan banyak karakter benda-benda yang terbang di langit. Ada balon udara dan benda mirip pesawat.
Ketua juri The 2nd Jogja International Miniprint Biennale, Agung Kurniawan mengatakan karya terbaik dalam pameran yang dibuat pegrafis dari luar negeri menyiratkan kemunduran dalam seni grafis Yogyakarta maupun Indonesia.
Dia menilai karya yang terseleksi sebagai pemenang monokromatik. Sebagian dibuat dengan teknik yang setua seni grafis, yakni etsa.
Selain itu, karyanya cenderung naratif, seolah menggambarkan potongan cerita. Misalnya pada karya Paolo Ciampini. Garis yang ia torehkan seperti menjadi raksasa karena mau tidak mau orang harus melihat karya itu dari dekat. “Seolah bisa mencium lembab kertasnya. Karya itu menunjukkan kepiawaian si empu garis bekerja,” kata Agung.
Kritikus Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H Siregar. Mengatakan seni grafis kerap tidak mendapat tempat dalam hiruk pikuk seni kontemporer. Selain karyanya yang berukuran mini, karya seni grafis sering tidak bisa memprovokasi orang. “Seni grafis tidak populer dan sering tidak mendapat pasar dan kurang diapresiasi. Maka perlu Miniprint Biennale,” kata Aminudin.
Aminudin atau biasa dipanggil Ucok diundang untuk berbicara dalam Miniprint Biennale di Sangkring Art Project. Ia menyatakan dalam perkembangan sejarah seni Indonesia, seni lukis dan patung mendominasi. Seni grafis mulai muncul tahun 60-an. Di ITB misalnya, seni grafis baru mulai diajarkan pada tahun 1963. Kolektor di Indonesia kebanyakan lebih suka mengoleksi karya seni dengan ukuran gigantik. “Mitos dan persepsi bahwa seni grafis itu mudah rusak juga masih berlaku,” kata Ucok.
SHINTA MAHARANI