TEMPO.CO, Yogyakarta - Lukisan abstrak khas perupa Fadjar Sidik menghiasi galeri. Citraan lukisan berwarna campuran di antaranya biru, putih, ungu itu mirip bentuk tikar. Ada bulatan mini berwarna merah di atas gambar dengan karakter tikar itu. Satu karya seni lukis modern itu disajikan di antara lukisan perupa muda dalam pameran Yogya Annual Art, di Bale Banjar Sangkring, ruang pamer Sangkring Art Space, 20 Mei-20 Juli 2016.
Lukisan ciptaan Fadjar disuguhkan sebagai bentuk penghormatan karena dia punya kontribusi besar terhadap perkembangan seni rupa Yogyakarta dan Indonesia. Karya Fadjar tahun 1960-an itu dipinjam oleh perupa yang menggagas pameran Yogya Annual Art. Lukisan itu disimpan di rumah Fadjar di Yogyakarta. ” Kami berusaha merayu isteri Pak Fadjar Sidik untuk meminjam karya itu,” kata Yuswantoro Adi di Sangkring Art Space Yogyakarta, Rabu, 18 Mei 2016.
Fadjar Sidik lahir di Surabaya, Jawa Timur tanggal 8 Februari 1930 dan meninggal pada 18 Januari 2004 di Yogyakarta.Yuswantoro mengatakan Fadjar merupakan tokoh seni rupa penting di Yogyakarta, yang pantas mendapat penghormatan. Untuk menghormatinya, makam Fadjar di Imogiri rencananya akan didesain seperti makam pahlawan.
Merujuk pada data Indonesian Visual Art Archive, pada 1957-1961, Fadjar menjadi pelukis profesional di Bali. Tahun 1961, ia kembali ke Yogyakarta dan mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Pada 1968-1970, ia belajar di Selandia Baru tentang Art Restoration Technique and Conservation.
Ia memperoleh penghargaan seni nasional dari pemerintah pada tahun 1971. Pameran tunggalnya tercatat pada tahun 1974 dan 1978. Ia aktif dalam seminar, simposium seni di tingkat nasional maupun ASEAN. Ia juga pernah menjadi juri pameran Biennale di Jakarta dan dua kali berturut-turut menjadi juri Biennale Seni Lukis Yogyakarta yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 1988 dan 1990.
Fadjar dikenal berjuang sebagai perupa modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang kuat dalam mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Fadjar Sidik belajar melukis di Sanggar Pelukis Rakyat di bawah asuhan Hendra Gunawan dan Sudarso.
Yuswantoro mengatakan selain dia, perupa lain yang menggagas pameran itu adalah Putu Sutawijaya dan Samuel Indratma. Yogya Annual Art merupakan pameran tahunan yang hanya menampilkan lukisan atau karya dua dimensi. Pameran yang digelar kali pertama ini menampik tudingan lukisan sebagai karya kuno ketimbang seni rupa menggunakan media baru, di antaranya seni instalasi, video, dan seni pertunjukan. “Kontemporer itu bukan terletak pada mediumnya, melainkan isi pemikiran dan konsep perupa yang kekinian,” kata Yuswantoro.
Dia mencontohkan lukisan bercorak realis karya seniman Gintani Swastika. Sekilas gaya melukis Gintani punya kemiripan dengan karya pelukis besar Indonesia, Dullah. Pada lukisan Gintani terdapat gambar dua perempuan berbaju kebaya yang duduk berhadapan. Dua perempuan itu nyeker atau tanpa alas kaki. Gintani merupakan cucu Dullah, perupa yang dikena punya kegemaran melukis potrait atau wajah. “Lukisan itu sangat kontemporer. Ada kedekatan emosional antara cucu dan kakek,” kata Yuswantoro.
Menurut Yuswantoro, pameran itu sekaligus juga untuk menepis tuduhan perupa saat ini kurang punya kemampuan teknis atau tidak begitu ahli menggambar. Penggagas pameran menantang seniman dengan rentang usia 30-4 tahun untuk terlibat membuat lukisan dalam pameran itu. Panitia telah menyeleksi perupa yang punya jam terbang sebagai pelukis aktif dan bukan mahasiswa atau fresh graduate. Ada 45 perupa yang memamerkan karyanya. Di antaranya Agus ‘Baul’, Gintani Swastika, Yaksa Agus, dan Erizal As.
SHINTA MAHARANI
Baca juga:
Karyawati Diperkosa & Ditusuk Cangku: Ini SMS Rahasia Berujung Maut
Menjelang Nikah, Ini Adegan Hot Sandra Dewi dan Calon Suami