TEMPO.CO, Surabaya - Selebaran menentang perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, kecaman reklamasi pantai, penolakan terhadap pendirian pabrik semen di Jawa Tengah, hingga teriakan reformasi aktivis Wiji Tukul bertubi-tubi menghiasai dinding auditorium Institut Francais Indonesia di Surabaya, Kamis, 12 Mei 2016. Kekusutan itu berbaur dengan mural dan graffiti pembawa pesan yang sama: protes terhadap keadaan.
Ekspresi “pemberontakan” juga diteriakkan melalui medium kanvas, manekin, maket, lemari, serta mobil. Kemuraman Drs Suryadi alias Pak Raden dan tatapan kosong almarhumah Nike Ardila, misalnya, terekam dalam bingkai kanvas.
Mengusung tema ‘Muda, Liar dan Berbahaya’, pameran seni urban kolaborasi antara komunitas seniman Bunuhdiri Studio, Serikat Mural Surabaya serta sejumlah perupa dari Madura, Malang, Bandung, Jakarta, Kendal, dan Malaysia itu memang lebih sopan dari lazimnya mural jalanan yang proletar dan mengumpat-umpat.
Menurut koordinator pameran, Alfajr X-Go, sisi seni dari kegiatan itu lebih ditonjolkan. “Kami tidak meninggalkan pakem seni jalanan yang ketal dengan umpatan liar serta cenderung antikemapanan, hanya pesannya kami perhalus,” kata dia.
Dia menuturkan mencoba menarik era 90-an dalam nuansa pameran. Karena itu selebaran yang ditempel-tempel berupa fotocopy, hal yang marak terjadi di zaman itu. Jaket denim belel yang lazim menjadi label anak-anak jalanan kala itu diunggah dalam manekin. “Ini simbol-simbol protes dan pemberontakan,” ujar Alfajr.
Direktur Institut Francais Indonesia Surabaya Veronique Mathelin mengatakan pameran tersebut bagian dari printemps Francais, festival seni yang diselenggarakan Institut Prancis di Indonesia tahun ini. Veronique mengaku tertarik mendekati komunitas pelukis jalanan agar ada warna lain dari kegiatan festival. “Tahun-tahun sebelumnya kami menampilkan musik klasik, wayang, tari, sastra hingga arsitektur,” ujarnya.
KUKUH S. WIBOWO