TEMPO.CO, Yogyakarta - Seniman Sri Astari Rasjid akan memamerkan patung gigantik berbentuk kebaya di halaman Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), Bulaksumur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 27 Februari-5 Maret 2016.
Karya berjudul Armour For Change setinggi 2,5 meter itu telah dipamerkan di Marina Bay Sands dalam ajang Singapore Art Week pada 20 Januari 2016. Patung raksasa ini menjadi satu dari 27 karya yang tampil dalam pameran retrospektif bertajuk Yang Terhormat Ibu.
Patung itu identik dengan baju nasional perempuan Indonesia. Kupu-kupu berukuran besar pada bagian dada menghias patung. "Kupu-kupu itu gambaran metamorfosis Indonesia dari situasi yang buruk ke harapan situasi yang lebih baik," kata Astari seusai jumpa pers di PKKH UGM, Kamis sore, 25 Februari 2016.
Pameran itu menampilkan 27 lukisan, fotografi, patung, dan seni instalasi. Astari menciptakan karya-karya itu sejak tahun 1998. Kali ini pameran mewakili perjalanan kreatif Astari sebagai seniman selama hampir 30 tahun.
Duta Besar Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Albania dan Makedonia itu mengatakan pameran ini wujud penghormatannya terhadap ibu. Astari menyatakan ibu yang dimaksudkan adalah rahim tempat berlangsungnya penciptaan manusia. Ibu bumi sebagai lambang kesuburan dan kelangsungan hidup.
Karya-karya patung dan instalasi Astri rata-rata berukuran besar dan banyak mengangkat figur yang populer dalam budaya Jawa, di antaranya Dewi Sri, Loro Blonyo, Drupadi.
Ia banyak mengangkat tema feminin, maskulin, budaya Jawa, simbol kebaya, tas, tokoh Petruk dalam Punakawan. Simbol Petruk misalnya digunakan sebagai parodi. Petruk digambarkan sebagai versi perempuan yang sedang membopong Spiderman.
Astari lahir di Jakarta pada 24 Maret 1953. Karya-karya seni kontemporer ini banyak tampil di berbagai negara. Di antaranya Jakarta, Hongkong, Washington, New York, Moskow, Madrid, London, Paris, dan Beijing. Ia juga pameran di Venezia Binnale. memenangi kompetisi seni rupa. Di antaranya Phillip Morris Arts Award dan Winsor and Newton Award.
Kurator pameran Wicaksono Adi mengatakan Astari banyak mengembangkan bentuk simbolik yang dimiliki setiap individu, yakni daya maskulin dan feminin, yang berkembang sesuai konteks sosial dan sejarah yang berbeda-beda. "Secara khusus, Astari banyak mengambil inspirasi karya-karyanya dari kultur asalnya, yakni Jawa," kata Wicaksono.
Direktur Artistik dan Co-Curator Paviliun Indonesia di Venice Biennale mengatakan Astari melihat budaya Jawa dan memandangannya dengan kacamata modern. "Selama 30 tahun, Astari melihat tradisi Jawa sebagai pemberontakan menjadi penghargaan," kata Carla.
Selain pameran seni rupa, pameran itu akan menampilkan tari berbasis Bedhaya karya koreografer muda Retno Sulistiarini. Tari itu akan dipentaskan membuka pameran di panggung instalasi berupa bangunan Joglo berukuran 8 x6 meter, yang dikelilingi sembilan wayang kayu.
Tari berjudul Garba dimainkan para penari yang semuanya perempuan. Selain itu, ada pentas puisi Jawa, dan pagelaran Wayang Kulit oleh dalang Ki Seno Nugroho.
SHINTA MAHARANI