TEMPO.CO, Frankfurt - “Di Jerman sekarang ada pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, ada perawat-perawat Muslim di rumah-rumah sakit,” kalimat itu meluncur dari Prof Dr Susana Schroter dari Universitas Goethe dalam diskusi tentang Pluralism, Fundamentalism and Islamophobia, yang digagas delegasi Indonesia menyambut Frankfurt Book Fair. Diskusi berlangsung di Haus am Dom pada 10 Oktober kemarin. Haus am Dom lokasinya tepat di belakang Katedral Frankfurt yang anggun.
Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin, Romo Frans Magnis Suseno, Haidar Baqir , dan Ulil Abshar Abdalla, ikut ambil bagian dalam diskusi itu. Prof Susana Schroter mulai dengan membicarakan hubungan Eropa dan Islam yang sudah sangat lama sejak abad 8. “Ada kekaguman dan kekhawatiran masyarakat Jerman terhadap Islam,” katanya.
Di Andalusia, imperium Muslim pernah mengalami puncak keemasan dan sangat menyumbang pada peradaban pemikiran Eropa. Tapi fakta sejarah ini menurut Schroter jarang diketahui oleh masyarakat Jerman. Sampai abad 18-19 banyak cendikia Jerman tertarik pada Islam.”Goethe, misalnya, sangat dipengaruhi Islam. Ia banyak membaca buku pemikiran-pemikiran muslim termasuk kitab suci Quran”. Tapi persoalannya menurut dia ketertarikan itu hanya sebatas kaum terpelajar dan elit. “Masyarakat awam di Jerman atau kalangan biasa sama sekali tak tahu Islam.”
Menurut Schroter, masyarakat Jerman kebanyakan baru mengenal Islam pada tahun 60-an ketika gelombang imigran Turki datang ke negara itu. Tapi saat itu pun para imigran Turki tersebut tidak didentifikasi sebagai spesifik muslim namun sebagai orang asing. “Saat itu tidak ada Islam Phobia tapi phobia terhadap orang asing,” ujarnya. Situasi agak berubah saat tragedi 11 September terjadi di New York. Warga Jerman mulai melihat mereka dengan identitas Muslim.
Pemerintah Jerman kini menampung imigran Suriah dalam jumlah besar. Menurut Schroter, pemerintah Jerman ingin mengakhiri Islam Phobia. Pemerintah berusaha melibatkan umat Islam dalam masalah publik. ”Kini ada upaya keras dari pemerintah Jerman memperlakukan masyarakat muslim Jerman sebagai warga negara,” kata Schroter. Schroter melihat bila dulu masyarakat Islam Jerman lebih banyak didominasi kelompok konservatif Turki, kini tidak.”Generasi baru muslim di Jerman yang memiliki pemikiran-pemikiran terbuka muncul,” ujarnya.
Akan halnya Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa Islamophobia tidak menjadi isyu dalam percakapan di Indonesia. Walaupun begitu, menurut Ulil, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan terhadap kaum muslim di Eropa selalu terpantau di Indonesia .”Pelarangan jilbab di Prancis, misalnya, menjadi percakapan di media sosial.”
Tapi, menurut Ulil, masalah-masalah seperti itu kebanyakan di Indonesia ditanggapi dengan pemikiran bahwa orang barat menerapkan standar ganda terhadap hak asasi. Bagi Ulil, ini ada masalah dalam cara pandang dalam umat Islam sendiri. “Umat Islam harus menghilangkan praduga Islamophobia dalam dirinya sendiri. Dan melakukan otokritik.”
Menteri Agama Lukman Saifuddin mengupas bagaimana karakter para militan yang kerap tidak bisa menerima gagasan-gagasan kemajemukan. “Mereka cenderung manipulatif. Mereka merasa lebih saleh, mengagungkan masa silam, lari dari kenyataan,” katanya.
Sementara itu, Frans Magnis Suseno menyoroti adanya intolerasi kehidupan beragama akhir-akhir ini di Indonesia. “Tindakan kekerasan masyarakat terhadap warga Syiah dan Ahmadiyah tidak mendapat perlindungan hukum dari negara. Juga masih ada sulitnya mendirikan tempat ibadah,” ujarnya. Tapi Magnis masih optimistis tingkat toleransi di Indonesia tinggi.
Diskusi tersebut dihadiri, antara lain para cendikia Jerman, kalangan diplomat, Duta Besar Fauzi Bowo. Dari kalangan seniman terlihat Rahmayani, perupa yang membuat pameran di Haus am Dom. Dan juga ada sastrawan Linda Christanti.
SENO JOKO SUYONO (FRANKFURT)