TEMPO.CO, Frankfurt - Hari Kedua Festival Tepi Sungai Frankfurt Museumuferfest 2015 yang digelar di bantaran Sungai Main, Frankfurt, Jerman, Sabtu, 29 Agustus 2015, dipadati sekitar 2,5 juta hingga 3 juta pengunjung. Cuaca cerah mendukung jalannya gelaran seni dan budaya kolosal se-Jerman itu.
Sejak pukul sepuluh pagi, tim stan Indonesia sudah sibuk. Semerbak bau terasi tercium di kawasan bantaran Sungai Main yang dinamai Nizza itu. Di situlah Indonesia mendirikan stannya. Warga Frankfurt dan sekitarnya terlihat antusias mengantri stan yang lengkap dengan gerobak nasi goreng.
Di stan itu, Ragil Wibowo dan Solihin dengan tenang melayani para pembeli meski didera teriknya matahari. Tim penyedia makanan khas Indonesia sate dan nasi goreng yang digawangi tiga koki terkemuka Ragil, Solihin, dan Aditya harus menyiapkan bahan-bahan lebih banyak dari kemarin.
"Pada hari pertama, semua makanan sudah terjual habis sejak pukul enam malam. Padahal makin malam, makin banyak yang datang untuk membeli sate dan nasi goreng," kata Ragil.
Pada hari pertama, konsultan Leon Hstokovich, penanggung jawab tim kuliner komite penyelenggara Museumuferfest Indonesia, menyarankan tim untuk tidak terlalu banyak menyediakan bahan. "Tidak disangka, animo pembeli sangat besar," ujar Ragil.
Pada hari pertama, Ragil dan empat anggota timnya menyiapkan 20 kilogram beras, 2000 tusuk sate ayam dan 2000 tusuk sate sapi. Untuk hari kedua, Ragil melipatgandakan stok beras menjadi 40 kilogram. "Cukup untuk 700 porsi," kata Ragil. Untuk sate ayam dan sapi, Ragil membuat masing-masing 2000 tusuk, dari 100 kilogram daging ayam dan 60 kilogram daging sapi.
Satu porsi nasi goreng dengan tiga tusuk sate, sapi atau ayam, dijual seharga 9,5 Euro. Sedangkan untuk nasi goreng saja, harganya 5,5 Euro. "Semoga hari ini persediaan mencukupi permintaan pembeli," kata Ragil.
Pada hari kedua Museumsuferfest, panggung stan Indonesia dibuka dengan penampilan para mahasiswa Indonesia di Frankfurt. Mereka memamerkan kain tenun ikat dari seluruh Indonesia. "Kita sengaja melibatkan diaspora Indonesia dan para mahasiswa yang sedang belajar di Jerman," kata Slamet Rahadjo Djarot. Pameran kain tenun ikat oleh para mahasiswa itu disajikan lewat tarian Poco-poco. Tak sedikit pengunjung festival ikut menari sambil mengusung tenun ikat.
Bila hari pertama, Barong dan Gandrung dibawakan di atas panggung, Sabtu ini Barong Banyuwangi juga ditarikan di sekitar panggung dan stan Indonesia. "Sudah direncanakan bahwa Barong juga dibawakan di sekitar stan. Kan sebenarnya Barong itu disajikan di jalanan, atau diarak," kata Endo Suana, ketua subkomite pertunjukan Komite Nasional Indonesia Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2015.
Menurut Endo, sebenarnya Barong Banyuwangi sebuah sendratari dengan cerita. Namun, konsep Barong yang dipertunjukkan di Museumuferfest dipangkas menjadi tarian murni dan musik. Semarak warna merah terang Barong Banyuwangi dengan tabuhan rebana dan pukulan gong menjadi pusat perhatian pengunjung.
Dengan lahap kamera profesional hingga kamera ponsel para pengunjung dan wartawan menangkap momen-momen atraksi Barong. Barong kemudian melanjutkan pertunjukannya bersama Gandrung dengan Ibu Temu sebagai penari dan vokalisnya.
LUKY SETYARINI (FRANKFURT)