TEMPO.CO, Jakarta - "Go international," adalah kata yang belakangan populer. Sepertinya, semua musisi akan menjawab dengan dua kata itu saat mereka ditanya apa cita-cita tertinggi mereka dalam bermusik. Bahkan seorang musisi yang belum terkenal pun berani mematok harapan setinggi itu. Tentu saja, kita harus menyambut baik hal ini, karena membawa musik ke luar negeri sudah berani diharapkan. Ini berbeda dengan beberapa dekade silam, saat para musisi cukup puas dengan penjualan album yang baik di dalam negeri.
Hanya saja, keinginan itu tak mudah dilakukan. Sebuah band yang sangat populer di dalam negeri, penjualan albumnya meledak di Indonesia, bukan jaminan akan mendapat karpet merah. "Jika band sudah mendunia, maka akan ada saja sponsor yang mau bayarin. Tapi jika belum, hanya mendapat spot di festival atau konser, maka harus mencari biaya sendiri," kata musisi yang juga pemilik Musikator, music agregator di Indonesia.
Biaya yang harus didanai sendiri itu mulai dari tiket, penginapan, uang saku selama di sana, biaya makan, dan lain sebagainya. "Karena perbedaan kurs dan karena festival kebanyakan dibuat di musim panas (high season di pariwisata), maka harga tiket dan hotel jadi lebih mahal. Biaya membengkak," ujar Robin lagi.
Tapi, finansial hanyalah pendukung. Yang terpenting adalah bagaimana pendengar asing bisa menerima musik kita. Hal ini, pertama, terkait dengan standar dan kualitas. " Ini masalah nyata. Sulit sekali menyamai standar kualitas yang industri musiknya mapan seperti Eropa," ujar Robin lagi.
Meski ada band Indonesia yang bisa menyamai standar kualitas, lagunya belum tentu disukai orang Eropa atau Amerika. "Model musik apa yang seharusnya dibawa dan laku dijual di sana oleh orang Indonesia? Pihak yang ingin membawa band ke luar negeri harus mampu menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu."
Hal itu tampaknya sudah mulai dijawab oleh sejumlah band Indonesia yang tampil di luar negeri. Gugun & Blues Shelter, The Sigit, Shaggy Dog, Free on Saturday, Burger Kill, adalah sedikit nama yang telah melakukan itu. Bahkan White Shoes & The Couples Company telah lebih maju melakukannya.
Keunggulan White Shoes dibanding yang lain, menurut Robin, adalah mereka sudah bisa merumuskan seperti apa suara Indonesia. "White Shoes itu unik, karena Indonesia banget. Suara itu yang ingin didengar oleh audiens luar negeri," kata Robin.
Untuk mengupas masalah ini, Ngobrol @tempo.co akan menggelar sebuah diskusi tentang bagaimana memberangkatkan artis ke luar negeri yang akan dimoderatori oleh Robin Malau. Nara sumber dalam bincang-bincang ini adalah Indra Ameng, manager White Shoes. Band itu juga akan tampil di panggung acara #MusikTempo yang akan berlangsung di kafe Common People, Kemang, Jakarta Selatan, pada 28 Mei ini, pukul 19.00.
Qaris Tajudin