TEMPO.CO, Jakarta - Polemik kembali berkembang di kalangan pemangku kepentingan budaya seiring munculnya rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Para seniman yang tergabung dalam Koalisi Seni meminta pembahasan draf ini ditunda karena dinilai belum mewadahi aspirasi para pekerja seni.
Polemik ini muncul dalam diskusi publik Rancangan Undang-undang Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera?, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, PSHK dan Koalisi Seni, di Galeri Cipta,Kamis, 3 Juli 2014. Diskusi ini menghadirkan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Marijan, Anggota Komisi X DPR RI Reni Marlinawati dan akademisi Hilmar Farid.
Draf undang-undang ini mengagetkan para pekerja seni karena mereka merasa belum diajak bicara. Mereka juga mempertanyakan peran pemerintah dalam kehidupan berbudaya di Indonesia. “Diskusi ini penting untuk mengevaluasi peran pemerintah dalam praktek kehidupan seni di Indonesia selama ini,” ujar Irwan Karseno, Ketua Dewan Kesenian Jakarta dalam sambutan acara itu.
Sedangkan Abduh Aziz dari Koalisi Seni menilai diskusi ini penting. Yakni untuk melihat draf ini akan membelenggu praktek kesenian dan kreativitas para pekerja seni atau menumbuhkan iklim berkesenian yang sehat. “Awalnya karena ada trauma ketika undang-undang film disahkan, dalam waktu mepet tak sempat dielaborasi,” ujar Abduh.
Para pekerja seni sempat khawatir jika draf ini sudah cukup matang dan menunggu waktu pengesahan. Namun hal ini dibantah oleh Reni. Menurut Reni, draf ini masih sangat mentah dalam tahap harmonisasi di badan legislasi DPR. “Masih sangat mungkin berubah dan banyak masukan, terutama dari para pekerja seni yang ada,”ujar Reni.
Reni menuturkan pentingnya undang-undang ini karena saat ini Indonesia belum mempunyai undang-undang induk tentang kebudayaan. Reni juga mengatakan membicarakan budaya ini harus seperti membicarakan pohon. Selama ini Indonesia sudah mempunyai ranting, cabang tetapi belum ada pohonnya. Penanganan budaya selama terpisah di dua kementerian.
“Yang ada selama ini ada di Kemenparekraf lebih pada aspek material, hasil karya. Sedangkan tentang nilai ada di Kemendikbud.” Menurutnya saat ini terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dan tergerus budaya luar. Diperlukan aturan yang menegaskan kewajiban negara untuk melindungi budaya dan unsur yang mendukung.
Reni juga menampik draf ini akan membatasi para pekerja seni berkreasi. Menurutnya tak ada satu kata kunci yang akan mengekang atau menghambat sesuatu yang harus dijaga. “Tidak membatasi tapi bagaimana negara memastikan budaya kita bermanfaat bagi bangsa Indonesia.”
Apa yang dikemukakan Reni mendapat tanggapan dari Hilmar Farid. Menurutnya draf ini lebih pada unsur formal karena ada keresahan ikatan sosial yang tercabik-cabik. “Sehingga dirasa perlu intervensi legal untuk menangani masalah,” ujar Hilmar.
Menurutnya, berbicara soal undang-undang budaya harus hati-hati karena ada beberapa jebakan. Dia mencontohkan masalah standarisasi dan sertifikasi seniman. “Ini seperti ranjau.”
Dia menyarankan akan lebih baik membicarakan budaya melalui penguatan institusi kantong-kantong budaya dan mendorong hal yang positif. Karena selama ini sudah banyak perangkat hukum yang difungsikan untuk mengatasi dampak negatif.
Wakil pemerintah, Kacung Marijan juga menegaskan jika budaya hanya berhenti di definisi legal formal, maka akan cepat selesai. Menurutnya harus dilihat pula dimensi yang menyusun budaya itu. Akan lebih baik jika perumusan budaya ini difokuskan pada masalah pengelolaan budaya yang mencakup masa lalu, masa kini dan masa depan.
Acara diskusi ini dihadiri banyak pekerja seni dari berbagai jenis aliran. Semula mereka sangat khawatir tentang draf ini. Tetapi mereka agak cukup tenang karena draf ini belum matang. “Baguslah ternyata belum apa-apa, ada banyak kesempatan memberi masukan draf. Lebih baik soal budaya ini diserahkan kepada mereka yang mengerti kebudayaan,” ujar Ratna Riantiarno, seniman teater kepada Tempo.
DIAN YULIASTUTI