TEMPO.CO, Denpasar - Cahaya menari-nari bermain lincah di panggung Bentara Budaya Bali. Dengan aneka citra visual, ia menyusuri lekuk-liku pahatan di bangunan yang mirip candi seraya menghiasi deretan pohon bambu. Bagian-bagian itu kadang-kadang terlihat terpotong, bergerak, kemudian tersambung kembali menjadi bentuk yang utuh. Musik yang berdentum semakin membawa imajinasi melayang seolah-olah terbawa dalam alur permainan tanpa henti.
Pertunjukan yang disuguhkan Raden Cahyoko Aka, atau akrab disapa Koko, saat pembukaan pameran “Beyond a Light, Erawan Vs Perupa Sejati” itu bukan sekadar permainan cahaya. Ini adalah sebentuk seni multimedia yang disebut video mapping. Senimannya merekam obyek, kemudian memotong detail rekaman-rekaman itu, lalu mengolahnya menjadi sebuah video yang bisa diproyeksikan dalam ukuran yang lebih besar dan digabungkan dengan berbagai efek visual, seperti percepatan, pemampatan, dan pengulangan.
Hasilnya berupa karya videografer yang dinamis, menggabungkan bentuk realis dan surealis. “Jika (dalam) fotografi atau lukisan obyek menjadi beku dan imajinasi penikmat dituntut aktif, dalam video mapping obyek dan imajinasi hidup bersama-sama,” kata pengamat seni Wayan Seriyoga Parta mengenai pameran yang akan berlangsung hingga 17 Mei itu.
Karya Koko menyiratkan pesan utama dalam pameran kolaboratif yang melibatkan perupa, fotografer, seniman multimedia, dan para penyair itu, bahwa cahaya bisa digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai rupa. Bila di masa lalu fotografi menggunakan cahaya untuk membekukan realita, sudah tiba waktunya fotografi dan media pengolah cahaya lainnya justru menjadi pemantik realitas baru yang bisa jadi berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya.
Soal ini memang menjadi traumatis bagi Bali. Sebab, pencitraan Bali di masa lalu tak terlepas dari karya-karya fotografi yang dengan sengaja merekam eksotika pulau ini. Khususnya wanita-wanita bertelanjang dada dalam segala kegiatannya dengan kain kamen yang melilit bagian pinggangnya. Pada 1940-an, foto-foto ini sangat terkenal di Eropa saat benua itu tengah dilanda peperangan, sehingga Bali dibayangkan sebagai firdaus yang hilang.
Maka, dalam karya Ida Bagus Darmasuta, foto yang telah dicetak di atas kanvas hanya dijadikan sebagai medan penjelajahan belaka. Ia memberi tafsir baru dari kegamangan obyek dalam lukisan bertajuk Scruple itu dengan warna-warna yang ambigu, divariasikan dengan huruf-huruf suci yang melambangkan spiritualitas dalam khazanah Hindu. Dalam lukisan Exorcise, dia mengolah foto dalam perpaduan dengan bentuk-bentuk abstrak dan seekor kucing. “Foto saya gunakan untuk memberi nyawa, tapi dia bergerak bebas,” kata Darmasuta.
Yang jelas, penggunaan teknik fotografi sebagai modus melakukan penyimpangan realitas adalah fotografer Agus Wiryadhi Saidi. Dia menggunakan teknik dasar fotografi dengan memainkan kecepatan bukaan diafragma untuk menghasilkan karya-karya yang bernuansa mistis. Ia seperti menangkap aura dari sebuah peristiwa, begitu pula dengan bunyi-bunyian yang terlibat di dalamnya.
Seniman lainnya, Dewa Gede Purwita, berkreasi dengan membuat instalasi serupa wayang. Tapi dia memanfaatkan foto-foto yang dipotong-potong, kemudian ditempatkannya pada ranting-ranting bambu. Setiap sekuen foto memiliki ceritanya sendiri, tapi saling berkaitan. Instalasi yang diberi judul The Ending Just Beginning Repeating ini menjadi menarik karena Purwita memperhitungkan efek pencahayaan, sehingga pantulan di tembok menjadi cerita baru dari narasi utama dalam instalasi itu.
Beragamnya medium serta penampilan para seniman bisa membuat penikmat seni sulit menikmatinya. Untungnya, obyek yang diolah sejatinya adalah peristiwa yang sama, yakni ketika seniman multitalenta Nyoman Erawan menggelar aksi teatrikal Salvation of Soul, Ritus Bunyi Kata Rupa pada 15 Maret lalu. Saat itu ia mengajak sejumlah penyair berkolaborasi dan ternyata menjadi santapan yang “lezat” bagi para fotografer dan videografer. “Karya mereka menimbulkan inspirasi baru bagi saya,” kata Erawan.
Dalam pameran itu, Erawan sendiri menampilkan karya tiga dimensinya yang menggabungkan lukisan dengan benda-benda yang memantulkan cahaya, seperti kaca dan perak. Tapi permainan cahayanya lebih diwakili oleh sebuah instalasi yang mirip bade (alat pengangkut mayat dalam tradisi Hindu), yang ia hiasi dengan aneka perhiasan kaca. Kemudian dia meletakkan sebuah kaca bundar yang menampilkan bayangan konstruksi bade beserta hiasannya di kedalaman.
ROFIQI HASAN