TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada seniman tari I Gusti Kompiang Raka, 28 Desember 2013. Namun, pemberian penghargaan ini menimbulkan polemik karena tim dewan juri yang ditugaskan memilih dan menentukan pemenang sebetulnya mengajukan dua nama pemenang, yakni Martin Aleida dan I Gusti Kompiang Raka.
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.
Baca Juga:
Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurut dia, kewenangan juri hanya memberi masukan kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik saat ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.
Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka sebagai satu-satunya peraih penghargaan. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi yang lebih menonjol.
“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga. Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi. Prestasi Kompiang, kata Ajip, lebih meyakinkan.
Keputusan Akademi Jakarta membuat dewan juri mengajukan protes. Tetapi protes itu tidak digubris sehingga mereka memilih mundur sebagai juri dan tidak terlibat dalam pemberian penghargaan itu. Dengan demikian, keputusan pemenang merupakan pilihan Akademi Jakarta, bukan pilihan juri.
Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan juri diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. “Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu, Akademi Jakarta juga pernah memilih dua pemenang. Akhirnya mereka sepakat menambah satu nama lagi, yakni I Gusti Kompiang Raka. Namun, setelah diajukan kepada Akademi Jakarta, nama Martin ditolak.
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida. “Kami tidak diajak berdiskusi, padahal, kan, bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak akan mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
Menanggapi pembatalan penganugerahan penghargaan kepadanya, Martin menganggap itu tak lepas dari politisasi kebudayaan. Menurutnya, hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.
Namun tudingan itu dibantah oleh Ajip. “Tidak ada alasan kanan-kiri, bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta atas usul saya,” ujarnya.
DIAN YULIASTUTI|RATNANING ASIH