TEMPO.CO, Yogyakarta - Penyair Sitok Srengenge dan Hari Leo saling mengkritik karya dalam bincang-bincang sastra edisi ke 91 di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa malam, 30 Maret 2013. Acara ini diawali dengan pembacaan puisi oleh kedua penyair.
Sitok Srengenge membaca karya Hari Leo yang kental dengan tema cinta dan sosial. Karya itu ada dalam kumpulan puisi bertajuk Menggambar Angin. Adapun, Hari Leo membaca karya Sitok Srengenge. Puisi Sitok Srengenge khas dengan pilihan diksi dan rima-rima indah. Salah satu karyanya bertajuk On Nothing.
Saat diskusi, Sitok Srengenge menilai puisi Hari Leo penuh dengan sajak yang tidak ruwet maknanya. Tapi, Sitok juga mengkritik Hari Leo. Tata bahasa Hari Leo kacau. Dia mencontohkan, penggunaan frasa di kamarku yang disambung dalam puisi Hari Leo, mestinya dipisah. "Saya berharap sastra tak merusak tata bahasa," katanya.
Memang, katanya, sastra di Yogyakarta berkembang dan memunculkan berbagai pembaharuan. “Penyair boleh saja menempatkan metafor untuk memperkaya informasi. Namun, harus diletakkan secara tepat. Saya contohkan penempatan celana dalam di kepala kan tidak pas. Maka sastra jangan sampai merusak,” kata dia.
Hari Leo lebih menyorot karya Sitok Srengenge yang banyak menggunakan kata-kata asing yang tidak dimengerti. Kata itu muncul dalam puisi Sitok yang kental dengan tema percintaan dan sosial. Tapi dia memuji karya Sitok yang runtut dan menggunakan pilihan kata yang sederhana. “Puisi Sitok kental dengan romantisme, pemberontakan. Saya nyaman membacanya karena seperti sedang berekreasi,” katanya.
Membaca puisi orang lain, kata Hari Leo membuat sastrawan bisa menghargai karya orang lain. “Kita bisa bertegur sapa lewat sastra karena masing-masing seniman punya ciri sendiri. Ketika sastrawan saling menghargai, maka sastra Yogyakarta tidak akan saling bermusuhan,” katanya.
Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta sebagai penggagas acara kerap mendiskusikan sastrawan muda, buku sastra, kelompok sastra, acara sastra, dan pegiat sastra.
SHINTA MAHARANI