TEMPO.CO, Jakarta - Ide-ide yang berputar di kepala menciptakan imajinasi liar. Maka terciptalah bentuk-bentuk yang bertumbukan mirip piring terbang, sketsa pesawat, dan aneka imajinasi lainnya. Spirit bukan lagi bermakna sesuatu yang gaib, tetapi justru terungkap dalam ruang dan waktu yang terbatas. Putu Wirantawan menyatakan hal itu dalam karya drawing-nya yang diberi judul Deep Spirit. Karya itu kini dipamerkan bersama sembilan karya lainnya di Bentara Budaya Bali hingga 9 Februari nanti.
Pameran bertajuk "Mata Kosmis" itu menghadirkan karya eksploratif Putu Wirantawan sepanjang 2008 hingga 2012. Ini adalah karya terbaru sang pelukis surealis itu setelah sekian lama tak menggelar pameran. Uniknya lagi, semua lukisan Wirantawan menggunakan medium pensil. “Saya memilih untuk melukis segala imajinya di atas medium kertas,” ujarnya mengenai keunikan yang lain.
Melalui pilihan teknik dan bentuk drawing inilah, Wirantawan yang telah berpameran di sejumlah negara berhasil meraih berbagai penghargaan. Salah satunya Juara I Jakarta Art Award (2010). Karya-karyanya juga dikoleksi sejumlah museum di luar negeri, seperti di The National Taiwan Museum of Fine Art; Museum der Weltkulturen, Frankfurt, Jerman; dan Silpakorn University, Bangkok, Thailand.
Karya-karya Wirantawan yang dipamerkan terbilang sugestif dan imajinatif. Perlu waktu lumayan panjang untuk mengerjakannya. Bahkan salah satu karyanya yang berjudul Tebaran Energi Sejati digarap selama lebih dari empat tahun. Karya itu terdiri dari sembilan panel berukuran 1.260 x 291,5 sentimeter. Wirantawan memvisualisasikan sebuah negeri fantasi yang seolah menginterpretasikan ruang-ruang kosmis di alam semesta. Perwujudan unik dari cahaya mistis matahari, air, percikan api, hingga makhluk bersel satu adalah kepiawaian dari mata kosmisnya.
Garis-garis yang dihasilkan perupa kelahiran Negara, Jembrana-Bali, 14 April 1972, itu terlihat tegas. Ia membangun warna-warna gelap dan terang yang memiliki kesan klasik dan dingin. Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memang lebih senang bermain pada konsep seni modern yang abstrak dan nonfiguratif. Ia pun merasa lebih bebas mengekspresikan warna tanpa terikat pada pakem tertentu. Meski demikian, surealisme Wirantawan merupakan konsep imajiner yang berpola dan berstruktur di dalamnya.
Sebelum menekuni drawing, Wirantawan pernah mengalami konflik batin berkepanjangan dalam mengambil sebuah keputusan untuk men-drawing, menentukan bahan, medium, karakter, dan corak yang tepat dalam berkarya. “Kegelisahan dan konflik batin itu membuat saya hampir gila,” ujarnya. Dia pernah mencoba dan menekuni berbagai medium dan corak. Dia pernah suntuk memakai cat minyak, akrilik, dan cat air di atas kanvas atau kertas.
Dengan bahan-bahan itu, dia menuangkan ide-idenya melalui corak ekspresionisme, figuratif, semirealis, impresionis, dan abstrak. Bahkan dia pernah dijuluki “Affandi Kecil” karena kegemarannya melukis di alam bebas, langsung berhadapan dengan obyek, dan memakai corak ekspresionisme. Namun tak juga memuaskan jiwanya.
Drawing, menurut dia, mendatangkan kenikmatan tersendiri. Metode dan teknik melukis yang tidak didapatnya dalam cat minyak, akrilik, atau cat air, bisa ditemuinya melalui goresan dan arsiran pensil di kertas. Pensil yang sederhana dan sering dilecehkan pelukis lain, di tangan Wirantawan menjelma alat melukis atau menggambar yang sangat ampuh. Jari tangannya sangat lihai memainkan pensil sehingga melahirkan goresan dan arsiran yang spontan dan memukau. Wujud-wujud yang tercipta pun sangat unik dan imajiner, dibuat melalui kesungguhan hati dan perenungan yang dalam.
Menurut Wirantawan, karya-karyanya tercipta dari ide-ide yang sederhana yang bertebaran di sekitar kehidupan manusia, namun sering kali dilupakan atau diremehkan orang. Misalnya, benda-benda berbentuk lingkaran, segitiga, berkas cahaya, lelehan lilin, sinar pelita, dan obyek-obyek sederhana lainnya. Melalui kekuatan observasi, penghayatan, dan imajinasi, benda-benda tersebut mengalami sublimasi dalam karya-karya drawing-nya.
Tantangan terbesarnya dalam berkarya adalah ketika ide-ide terus berputar dalam kepala, seakan medium yang ada tak cukup mampu menampungnya. Maka sering kali ketika sedang mengerjakan drawing, pada saat yang hampir bersamaan, dia juga membuat sketsa-sketsa. Baginya, drawing dan sketsa masing-masing merupakan karya yang otonom. Namun terkadang dia membuat sejumlah sketsa dulu sebagai studi, lalu dipindahkan ke dalam drawing.
Dengan menerapkan metode yang sering dipakai kaum surealis, wujud-wujud karya Wirantawan seperti berada di ambang alam nyata dan impian. Beberapa mirip jasad renik, seperti kuman, bakteri, parasit, dan amuba. Sebagian lagi penuh simbol-simbol bernuansa mistis dan spiritual. Misalnya, seberkas cahaya yang seakan meleleh di atas meja atau bias-bias lingkaran cahaya yang berpendar dalam kegelapan.
Namun demikian, menurut penulis seni rupa Jean Couteau, Wirantawan sejatinya melanjutkan tradisi lukisan Bali yang menjadikan karyanya sebagai lahan imajinasi. “Di sinilah yang modern bertemu dengan tradisi,” ujarnya. Secara spiritual, menurut dia, Wirantawan telah berusaha mempertemukan spirit Bali dan dunia modern melalui teknik drawing.
ROFIQI HASAN