TEMPO.CO, Yogyakarta- Seperempat abad Rumah Seni Cemeti, seperti kawah Candradimuka seniman muda. Alunan musik balada, hasil petikan gitar menggema bercampur tawa. Rumah Seni Cemeti, Sabtu malam 2 Februari 2013, riuh. Pemetik gitar itu, seorang bertopeng kepala burung warna hijau, berparuh lancip. Di kirinya, ada pria berambut Mohawk, sibuk melukis di tembok. Di sebelahnya, ada bule sedang menyusun batangan besi membentuk instalasi menyerupai perahu.
Manusia burung itu, tak lain seniman instalasi Arya Pandjalu. Sedangkan pria berambut mohawk itu, perupa kawakan Eddie Hara. Dan bule pembuat instalasi kapal itu, seniman intalasi asal Australia, Ben Fox.
Malam itu, ketiganya membaur bersama ratusan seniman lain di Cemeti. Mereka hadir dalam peringatan hari jadi ke-25 Rumah Seni Cemeti, yang dikelola seniman suami istri, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma.
Perayaan ulang tahun Cemeti, yang jatuh pada 31 Januari, kali ini digelar hingga akhir tahun 2013. Ada sembilan kegiatan yang dirangkum, lewat tema besar “Turning Targets”.
“Kami rayakan, karena ada target dan positioning Cemeti harus diubah,” kata Nindityo, yang tampil dengan balutan celana ketat merah dan kemeja bercorak, gambar dekoratif.
Sekitar 400 seniman dari berbagai daerah dan manca negara hadir, membawa sejumlah peralatan seni. Nindityo meminta, setiap seniman yang datang harus membuat karya dan langsung memamerkannya malam itu.
Karya yang ditampilkan bermacam-macam. Mulai dari lukis, mural, video, foto, instalasi, bahkan penganan gulali dan roti kering. Perupa tekstil Caroline Rika, hadir dengan karya ‘Roti Ramalan’, dan menjualnya per biji Rp 3 ribu. Dalam roti berbentuk boneka itu, di tengahnya ada kertas berisi ramalan nasib.
Perupa kawakan Eddie Hara mengungkapkan, Cemeti menjadi oase seni rupa bagi seniman muda di Yogyakarta, di tengah gempuran galeri besar dengan orientasi komersial. Cemeti menjadi satu di antara sedikit rumah seni yang tidak diskriminatif pada seniman. “Karya alternatif dan nonkonvensional masih diterima,” kata dia.
Seniman Edi Prabandono mengatakan, Cemeti mempelopori gerakan berbeda bagi perkembangan galeri di Yogyakarta. “Saat semua galeri menganggap karya nyeleneh tak bisa masuk, Cemeti berani merintisnya,” kata dia.
Sedangkan perupa grafis Uji Handoko, mengungkapkan Cemeti, seperti kawah Candradimuka bagi seniman muda. “Menjadi ruang nyata pertama belajar bagaimana menyikapi dunia seni rupa yang kompleks di luar,” katanya.
Meski demikian, Eddie Hara menilai Cemeti sebagai rumah seni sekaligus galeri, seharusnya tetap memikirkan sejumlah langkah untuk bertahan. “Tak serta merta menghilangkan unsur komersialnya, meski tak perlu sampai dominan. Asal bisa memenuhi kebutuhan operasional,” kata dia.
Menurut Nindityo, Cemeti sengaja tak berhadap-hadapan dengan galeri komersial. “Jika mengikuti galeri komersial, kami bisa tenggelam,” katanya. Oleh sebab itu, mulai 2006 Cemeti gencar membuat program residensi seniman, yang memberi pembinaan bagi seniman muda (biasanya satu program 3 orang dari Indonesia, Eropa dan Asia) selama 3 bulan berproses bersama di Cemeti.
PRIBADI WICAKSONO