TEMPO.CO, Kediri - Industri sinematografi di Indonesia kini tak lagi diramaikan sineas profesional. Sejumlah komunitas tukang shooting manten di Kediri mampu memproduksi film fiksi dan dokumenter. Bahkan karya-karya mereka berhasil menyabet sejumlah penghargaan.
Salah satunya adalah film berjudul Warisan. Tak ada yang menyangka sebuah film pendek berdurasi 15 menit ini diproduksi oleh sekumpulan juru shooting pengantin. Para pemerannya pun bukan berasal dari kalangan artis atau seniman teater, melainkan warga biasa.
Patut diacungi jempol, di tengah keterbatasan peralatan gambar dan sumber daya manusia, film ini berhasil menyabet empat kategori sekaligus dalam Festival Film Pendek tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2012. Kategorinya adalah film terbaik, sutradara terbaik, pemain utama terbaik, serta editor terbaik. “Jelas di luar bayangan saya,” kata Ary Iswahyudy, sang sutradara.
Film ini berkisah tentang seorang anak sekolah menengah atas yang tak mampu membeli baju batik untuk kegiatan sekolah. Wulan, nama sang tokoh, berjuang keras untuk mendapatkan uang. Gadis yatim piatu yang hidup bersama kakak perempuannya ini mengalami keterbatasan ekonomi yang luar biasa. Sang kakak yang menderita cacat kaki bekerja sebagai tukang jahit kampung.
Karena tak ingin dikasihani teman-temannya untuk membelikan baju batik, Wulan bekerja sebagai kenek angkutan umum. Namun, lacur, hasil jerih payahnya tetap tak mampu menjangkau harga baju batik yang diinginkannya. Di tengah gejolak itu, sang kakak menemukan sepotong kain batik peninggalan orang tuanya. Kain batik inilah yang kemudian dia jahit menjadi pakaian layak untuk adiknya. Cerita pun berakhir dengan sederet pesan moral yang disampaikan melalui percakapan tokohnya.
Meski masih belum mampu mengaduk perasaan penonton seperti layaknya film fiksi garapan Hanung Bramantyo atau sineas ternama negeri ini, film tukang foto manten ini tetap menarik. Tidak monoton seperti layaknya film pendek yang dipenuhi dialog. Dibuka dengan suasana jalan kampung dan rumah kumuh, film ini mampu mengantarkan pada kehidupan sang tokoh yang miskin. Cuplikan seekor kura-kura yang tak berhenti menggeliat di dalam stoples turut mewakili perasaan Wulan yang selalu gelisah.
Dia menjelaskan, produksi film Warisan ini merupakan oasis bagi para tukang shooting pengantin yang tergabung dalam komunitas Lensa Kediri. Di tengah kejenuhan aktivitas mereka merekam peristiwa perkawinan, terbersit untuk membuat sebuah film. Meski tidak ada satu pun dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan sinematografi, toh, masing-masing tak ada kendala mengoperasikan kamera.
Berbekal keinginan kuat untuk belajar inilah para tukang shooting ini memulai kisah sebagai tim kreatif film. Ary Iswahyudy, yang dianggap paling senior, didapuk sebagai sutradara, sementara kawan lainnya dipilih menjadi artis, juru kamera, penata lampu, tukang rias, transportasi, hingga konsumsi. Film ini sekaligus menjual ikon Monumen Simpang Lima Gumul sebagai salah satu lokasi shooting. Menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di Kediri.
Menurut Ary, kendala awal pembuatan film ini adalah biaya. Karena tak didanai siapa pun seperti layaknya rumah produksi profesional, mereka pun urunan sesuai kemampuan. Sisa hasil job mendokumentasikan manten disisihkan untuk biaya produksi ini. “Kalau biaya lain masih bisa diakali, yang tak bisa ditawar adalah membeli makan untuk kru dan pemain selama shooting,” kata Ary mengenang.
Kini, jerih payah itu menuai hasil. Komunitas Lensa Kediri mulai dilirik orang sebagai sekumpulan sineas, bukan lagi tukang shooting manten biasa. Ini dikukuhkan dengan disabetnya juara pertama Festival Film Kelud 2012, yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Kediri. Film bergenre dokumenter ini mampu menyisihkan karya para profesional, termasuk awak media, yang mengikuti kompetisi tersebut. Mereka berharap film tersebut bisa diputar di gedung bioskop lokal sebagai penyemangat.
Meski telah menghasilkan karya fenomenal, mereka tak akan pernah melepas profesi tukang shooting yang menghidupi sehari-hari. Tentu saja, dengan dikenal sebagai sineas, job mereka semakin membanjir.
HARI TRI WASONO