TEMPO.CO, Yogyakarta - Empat seniman Trowulan memamerkan karya yang mengeksplorasi sejarah Majapahit di Trowulan Jawa Timur di Sangkring Art Project, Yogyakarta, 21 Maret - 3 April 2012. Pematung Ribut Sumiyono memamerkan karya patung gajah bertajuk Ganesha dengan gaya cuek berdiri di dua kaki sembari menggaruk kepala dan berkacak pinggang.
Pada kedua tangannya terselip patahan gading dan gelang, sedang matanya terpejam dengan kepala mendongak bak sedang berfikir. Ribut adalah pendiri Padepokan Selo Adji di Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Patung berjudul Ganesha itu karya pematung gaek Ribut Sumiyono dipajang dalam pameran bertajuk Trowulan Art : Homo Mojokertensis di Sangkring Art Project, Yogyakarta, 21 Maret - 3 April. Ribut adalah pendiri Padepokan Selo Adji di Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Bersama tiga rekannya asal Trowulan, Hadi Sucipto, Iskandar, dan Joni Ramlan, mereka mencoba menafsir ulang eksistensi Majapahit dalam perspektif pasca-restorasi pada pameran bertajuk “ Trowulan Art : Homo Mojokertensis”. “Sejarah masih berlangsung. Seperti cerita Kerajaan Majapahit, juga belum selesai, karena sampai sekarang masih terus ditemukan peninggalan baru di Trowulan,” kata Ribut kepada Tempo.
Trowulan hingga kini dipercaya sebagai pusat kerajaan Majapahit yang berkembang selama 200 tahun (1293 -1500 M). Patung Ganesha dari batu andesit itu sebagai ekspresi memecah kekakuan. Bagi dia, sosok dewa pengetahuan tak melulu sedang bersemedi seperti yang selama ini diekspresikan. Ribut membayangkan Ganesha sebagai dewa yang manusiawi, mengalami pubertas, liar, dan akhirnya memperoleh pengetahuan.
Sementara itu, Hadi Sucipto tertarik dengan Trowulan yang hingga kini masih dihiasi tumpukan batu bata merah peninggalan Majapahit. Karya gambar guru kesenian di SMA Negeri 1 Gondang Mojokerto itu sebagai jalan menafsir sisi arsitektural-historis perjalanan Majapahit yang belum sempurna direstorasi.
Pada sketsa berjudul Candi Arimbi dan Ganesha, Hadi membayangkan industrialisasi telah dimulai di Jawa saat Raden Wijaya membangun Majapahit dari Hutan Tarik. Ribuan batu bata merah untuk membangun kerajaan sebagai bukti kecerdasan masyarakat saat itu sekaligus bukti Majapahit ikut menyumbang kerusakan alam akibat eksploitasi hutan di Jawa. Pembakaran batu bata merah butuh banyak kayu. “Banyak temuan baru tak dihargai, dan warisan tak ternilai itu banyak terjual bebas di pasar gelap,” kata dia.
Adapun Iskandar mencari intepretasi lewat pewaris kebudayaan Majapahit yang tersisa di Trowulan. Dalam karya fotografi berjudul Hindu, Islam, dan Nasionalisme, dia membidik perubahan pandang tentang pemaknaan ritual tradisi lewat sosok perempuan tua berjilbab khusuk berdoa menghadap ubo rampe sebagai pelengkap sesaji upacara adat.
Sedang Joni Ramlan dengan karya lukis semi abstrak menyoroti bagian kebudayaan yang ikut terbenam seiring runtuhnya kejayaan Majapahit. Pada karya ‘Nyanyian Jaman’ Joni menyoroti simbol akulturasi berupa citraan alat musik rebab yang dipercaya perpaduan budaya Majapahit dengan Cina. Menurut dia, jejak kejayaan Majapahit tak seluruhnya ikut musnah. “Mungkin kita akan bisa menemukan rantai yang putus itu,” katanya.
PRIBADI WICAKSONO