TEMPO.CO, Yogyakarta - Boneka-boneka itu diletakkan berjajar di sudut dinding pintu masuk galeri Bentara Budaya Yogyakarta. Mimik mereka tampak suram, jauh dari kesan lucu dan menggemaskan. Matanya merah, bahkan ada beberapa yang menangis. Mereka menenteng pistol serta pisau dengan dua tangan mungilnya. Boneka itu kian menyeramkan ketika melakukan hal-hal yang biasanya dimainkan para anak seperti hompipah dan jumpalitan.
Lewat boneka-boneka itulah perupa Dedi Maryadi mengungkapkan ekspresi ketertindasan yang selama ini dibungkus dogma pembenaran premis bahwa anak-anak tak punya hak untuk membantah apa yang dimaui orang tua. Disadari atau tidak, hal itu terus terekam dalam memori anak yang terus menampung dan akhirnya menggunung, lalu berpotensi mensensitifkan perasaan memberontak pada yang berlawanan dengan keinginan di masa datang.
Keterkekangan para anak yang ditampilkan Dedi dalam pameran bertajuk Parasites of Object digelar hingga 10 Maret 2012. Boneka menjadi simbol perlawanan Dedi terhadap kultur penindasan orang tua kepada anak karena mewakili presentasi obyek berwujud replika yang menggambarkan kepolosan dan keluguan hanya bisa menerima realitas baru di sekitarnya.
Spiral kekerasan, kata Dedi, terbentuk saat orang tua nyatanya tak mampu memberi jalan lebih "manusiawi" dan bersudut pandang anak untuk mengarahkan keinginannya, hanya menegasikannya secara mutlak, bahkan dibumbui cara kekerasan untuk menolak keinginan yang tak sesuai.
“Anak selalu jadi tumbal dan media pelampiasan keinginan. Akhirnya itu berbalik karena mereka sebenarnya sudah bisa melawan meski dari hati,” kata Dedi saat ditemui Tempo, Rabu 7 Maret 2012. Karya-karya itu dituangkan dalam dua karya drawing berjudul Sadomasokisti dan sekuel 15 karya berjudul Sebuah Catatan untuk Sekedar Bersenandung dengan Penuh Keriangan di Alam Semesta.
Dalam pameran yang juga diikuti perupa Khusna Hardiyanto dan Putra Eko Prasetyo itu Dedi juga memelintir karya-karya legendaris Leonardo da Vinci seperti dalam Madonna of the Carnation. Dalam karya aslinya lukisan Da Vinci itu memperlihatkan seorang perempuan dengan wajah damai yang memberikan mawar kepada jabang bayi yang digendongnya. Karya itu oleh Dedi dipelesetkan menjadi sosok perempuan berekspresi menyeramkan sambil menghunuskan belati pada bayi yang meronta ketakutan.
Khusna Hardiyanto dalam pameran yang banyak menampilkan karya instalasi itu lebh mengeksplorasi persoalan dialektika manusia dalam persepsi tentang kasih sayang dan juga soal keperempuanan yang sering menjadi sebagai obyek kekerasan. Dalam karyanya yang berjudul Venus, misalnya, Khuna menampilkan tiga simbol pakaian seorang malaikat bersayap yang dibingkai melalui kawat-kawat berduri.
“Meski cantik bak malaikat, perempuan wajib mempersenjatai diri dengan kecerdasan agar tidak menjadi obyek semata,” kata Khusna. Khusna banyak mengeksplorasi gagasannya tentang kasih sayang dengan simbol-simbol alami seperti awan, daun sebagai bentuk kebebasan ekspresinya.
Penyuka travelling ini secara unik menciptakan sebuah gugusan awan-awan putih yang digantung, yang dari dalam gumpalan kenyal itu muncul puluhan duri baja. Keunikan juga tampak pada karya berjudul My Heart yang mengambil bentuk replika daun talas berbentuk hati yang tergantung pada sebuah hanger untuk menjemur pakaian. Karya itu sebagai simbol kesenangan apa pun sebenarnya hanyalah sebuah persepsi yang memiliki ketergantungan pada situasi dan momentum seseorang.
Putra Eko Prasetyo dalam pameran ini mengeksplorasi teknik grafisnya yang condong pada teknik cukil. Obyek-obyek yang digarap Eko dihadirkan dalam bentuk susunan kotak-kotak kecil selayaknya batu-bata yang terangkai menjadi bentuk-bentuk tertentu. Seperti dalam karya Plagianisme, Eko menggambarkan sebuah ironi kultur plagiat yang kian profesional menyerupai sistematika perusahaan.
PRIBADI WICAKSONO