TEMPO.CO, Yogyakarta- Ada-ada saja cara dunia seni mengajarkan seni. Sebanyak 120 mahasiswa semester pertama jurusan film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) "dipaksa" pameran di depan warung nasi kucing di perkampungan seni Nitiprayan, Yogyakarta.
Sebelumnya, selama tiga hari, 21-23 Januari 2012, mereka diajak membaur langsung dalam keseharian kampung, mengalami realitas sebenarnya, bukan sekedar mengamati, meraba dan berangan-angan. Di akhir kegiatan mereka diminta mengaktualisasikan apa yang dilihat dan dialaminya dalam bentuk pameran karya. Pameran diadakan di sebuah warung nasi kucing “Wongso”, yang sehari-hari menjadi tongkrongan warga kampung Nitiprayan.
“Dunia seni, termasuk film adalah dunia rasional yang diperoleh dari mengolah realitas sekitarnya. Jadi merasakan realitas merupakan hal pokok, bukan mengamati dan menjadi penonton,” kata Armantono, Wakil Dekan Jurusan Seni Film IKJ yang mendampingi mahasiswa selama di Yogyakarta. Armantono menjelaskan setelah enam kali melakukan program serupa di berbagai daerah, inilah untuk pertama kali mahasiswanya melakukan proses kreatif. Sebelumnya, mereka hanya berperan sebagai penonton.
Dalam pameran itu para mahasiswa dibagi menjadi 12 kelompok. Mereka mengungkapkan semua yang dialaminya usai tinggal bersama masyarakat melalui karya seni. Salah satu karya yang dipamerkan adalah sebuah mesin jahit kuno yang dikelilingi bingkai-bingaki foto keluarga yang tak kalah lawasnya.
Di atas mesin itu benang-benang aneka warna tampak kusut saling berkaitan, namun terlihat cerah penampilannya. Mesin jahit milik seorang penduduk bernama Untung yang selama puluhan tahun berprofesi sebagai penjahit untuk hidupnya itu diberi judul Jarum Kehidupan.
Suharbimar yang kelompoknya memamerkan mesin jahit tersebut menuturkan dari karya itu mereka ingin mengungkapkan bahwa kehidupan masyarakat kelas bawah, seperti penjahit kampung yang ‘diriset’nya itu, tak mesti hidup suram dan tertindas seperti yang selama ini diceritakan film dan sinetron Indonesia.
“Kami menemui realitas berbeda di sini. Masyarakat kecil pun bisa bahagia dengan kehidupannya, dengan kesibukannya meski uang kadang memang kurang,” kata dia. Bahkan, si penjahit itu, dengan keterbatasan ekonomi, masih tetap eksis di panggung kesenian tradisi kampung lewat kelompok Gejog Lesung-nya. “Bahkan sempat tampil beberapa kali di TVRI,” kata dia.
Realitas baru soal kehidupan masyarakat bawah juga ditemui ketika mahasiswa mengenal seorang tukang becak setempat bernama Darwadi. Becak Darwadi sementara disewa oleh mahasiswa untuk dipamerkan di atas kolam yang berada di warung nasi kucing itu. Dalam becak itu, potret diri Darwadi tengah tertawa dipasang berikut profilnya.Darwadi diceritakan sangat mensyukuri keberuntungannya masih bisa menjalani dan menikmati hidup meski buta huruf.
Selama di Yogyakarta itu, para mahasiswa IKJ juga mengarungi sungai Bedog menggunakan rakit dan menikmati keindahan alam kampung yang masih terjaga. Seniman kawakan Djoko Pekik pun sempat berbagi pengalaman dengan mahasiswa soal kisah hidupnya, bagaimana ia memilih melawan kekuasaan dengan karya, bukan turun ke jalan.
Seniman Yogyakarta yang turut terlibat dalam proses tersebut, Ong Hari Wahyu, menjelaskan program ini bertujuan untuk membedah pola pikir mahasiswa film . Salah satunya gar stigmatisasi yang dicokokkan industri film tanah air tidak terlanjur meracuni para mahasiswa ketika nantinya mereka membuat karya.
“Selama ini penggambaran realitas dalam karya film di tanah air cenderung tak berpijak, asal comot dari realitas yang tak didalami, dan akhirnya membodohi,” kata dia. Disebutkan misalnya ketika orang Jawa yang selalu digambarkan dengan busana Jawa dan bahasa yang medok. “Zaman sudah berubah, realitas dan pola pikir pun pun berubah,” kata Ong.
PRIBADI WICAKSONO