TEMPO.CO, Yogyakarta - Sosok perempuan berukuran sekitar 1,5 meter itu terlentang pasrah. Tubuhnya yang menghadap ke langit-langit itu seolah sulit menggeliat. Ribuan botol kecil menempel di seluruh badannya. Tubuh itu seakan memendam sakit tak terperi dengan nyala merah yang terkadang muncul dari dalam dirinya.
Sosok perempuan itu merupakan salah satu instalasi berjudul "Vials of The Female Sacrifice" karya Dr. Aucky Hinting. Aucky, yang akrab disapa Okky, adalah dokter bayi tabung yang telah 32 tahun menekuni profesinya. Dalam pameran tunggalnya yang bertajuk "Art of the ART" yang diselenggarakan selama 6-14 Januari 2012 di Bentara Budaya Yogyakarta itu, Okky memamerkan tak kurang dari 50 karya, terdiri dari sketsa, lukisan, patung, video hingga instalasi. Semuanya bercerita tentang kesehariannya sebagai dokter bayi tabung.
Kata "ART" yang menjadi judul pamerannya merupakan singkatan dari Assisted Reproductive Technology atau Teknologi Reproduksi Berbantu. Instalasi perempuan terlentang itu, kata Okky, merupakan ekspresi dari pengalamannya menghadapi perempuan dan bayi tabung.
"Untuk mendapatkan kesuburannya dan membuat bayi tabung, seorang wanita bisa disuntik hormon FSH yang berasal dari botol, minimal dua botol sehari selama 10 hari," kata Okky pada Minggu, 8 Januari 2012. Suntikan itu sangat menyakitkan. Belum lagi harga per botol hormon itu juga sangat mahal, mencapai Rp 600 ribu per botol. Okky mengumpulkan botol itu hingga mencapai 15 ribu botol selama masa kerjanya dan dipasang pada instalasinya.
Kebutuhan akan bayi tabung turut memicu permainan harga atas hormon itu di seluruh penjuru dunia. Bisnis tersebut nilainya mencapai jutaan dolar. Pengorbanan seorang wanita untuk mendapatkan bayi itu dirasa Okky sedikit "tidak adil" karena dalam konteks kesulitan mendapatkan bayi, seringkali masalahnya karena lemahnya sperma si pria. Tapi, "Yang disuntik tetap saja yang wanita," kata dia.
Pada instalasi lainnya, "Egg Harvest", Okky menunjukkan sikap pembelaannya terhadap pengorbanan para wanita. Dalam karya yang mirip hiasan lampion dan lampu Hallowen itu, menjuntai ratusan benang kusut sehingga sekilas mirip ubur-ubur yang terpantul cahaya.
Puluhan benang itu adalah sarana suntik yang biasa dipakai untuk mengambil sel telur dari seorang wanita. Panjang setiap benang itu sekitar 35 sentimeter dan disuntikkan sekali pada wanita dalam waktu berulang-ulang hingga terkumpul 20 sel telur. "Dan itu sangat sakit sekali karena berpindah-pindah tempat suntiknya," kata Okky yang menyiapkan pamerannya ini sejak empat tahun silam.
Dalam pameran pertamanya ini, Okky juga menuangkan kegelisahannya soal konflik manusia pada lukisan berjudul "Human Life Cycle". Pada karya ini, dokter yang membuka praktek di Surabaya dan mengajar di Universitas Airlangga itu menggambarkan proses terjadinya manusia, dari pertemuan sel telur dan sperma hingga membentuk morulla.
"Pada dasarnya, proses terjadinya manusia adalah sama. Bentuk-bentuknya pun dari sel telur sama, bulat dan kemudian membentuk tubuh. Ia mulai berbeda ketika sudah lahir dengan apa yang melekatinya, dari politik sampai agama," kata Okky yang selalu menyempatkan diri melukis setiap akhir pekan itu.
Satu karya Okky yang menggelitik adalah lukisan berjudul "Female Grandprix" yang menggambarkan vagina layaknya sirkuit balap. Di situ Okky meneceritakan bahwa terjadinya manusia layaknya arena balap ketika sel telur hanya akan memilih satu sperma dengan kualitas terbaik di antara puluhan ribu sel yang ada.
Ada pula satu karya patung berjudul "Morubaby". Patung dari perunggu itu menampilkan sosok seorang bayi yang baru lahir. Ia duduk di atas embrio stadium morula. Patung ini mengisahkan perubahan bentuk dari embrio stadium morula, sel yang terus-menerus membelah sehingga kemudian menjadi bayi yang dilahirkan.
"Saya ingin dari karya ini manusia kembali ke 'asalnya' lagi. Bahwa sesuatu itu sebenarnya berawal dari nol dan tanpa identitas," kata dia.
Kurator pameran ini, Suwarno Wisetrotomo, menuturkan bahwa dalam karyanya Okky tidak hanya menggauli dan menyenangi dunianya, tapi juga mau mengungkapkan kembali apa yang dirasakannya menjadi sebuah catatan nilai yang bercorak kemanusiaan.
"Karya-karya dia otentik. Tidak bertendensi 'memperindah' kisah laku profesinya. Juga ia tidak bertendensi agar apa yang diciptakannya menjadi tampak misterius, penuh pesan, atau muatan ideologi atau moralitas," kata Suwarno.
PRIBADI WICAKSONO