TEMPO Interaktif, Banyuwangi-Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) yang digelar di Kabupaten Banyuwangi, Minggu, 22 Oktober 2011, disambut ribuan warga Banyuwangi dengan antusias. Warga memadati jalan sepanjang 3 kilometer, mulai Jalan Veteran hingga Jalan Ahmad Yani, untuk menyaksikan 420 peserta BEC yang tampil dalam beragam kostum.
BEC mengangkat tema ''Gandrung, Damarwulan dan Kundaran". Ketiganya merupakan kesenian tradisional asli Banyuwangi. Dari tiga kesenian tradisional itulah, peserta BEC kemudian melakukan modifikasi kostum sehingga tampil lebih kontemporer.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, BEC menjadi jembatan antara kesenian tradisional dengan modern supaya lebih bisa diterima di panggung internasional.Untuk memaksimalkan konsep tersebut, Banyuwangi menggandeng Dynand Faris sebagai konsultan. Dynand Faris selama ini dikenal sebagai penggagas Jember Fashion Carnival (JFC).
Namun, kata Bupati, konsep BEC berbeda dengan JFC. BEC, jelas dia, berakar dari kesenian tradisional yang tidak dimiliki oleh Jember. "Konsep BEC memadukan antara kreasi kostum dan gerak tari," katanya.
Karnaval dibuka dengan tarian Gandrung bertema "Gandrung dari Masa ke Masa" yang dibawakan seratus penari, mulai penari senior hingga pelajar SMP.Tarian Gandrung awalnya merupakan tarian sakral yang dipercaya telah ada sejak jaman Majapahit.
Gandrung berasal dari kata jawa yang berarti cinta atau terpesona. Tarian ini mengandung maksud sebagai ungkapan cinta kepada Dewi Sri atau dewi kesuburan karena telah memberikan kesejahteraan pada masyarakat agraris Banyuwangi.Di belakang Gandrung asli, sebanyak 119 peserta menampilkan kostum gandrung dalam berbagai modifikasi, dengan dominasi warna hitam dan merah.
Barisan berikutnya adalah kesenian Damarwulan. Kesenian ini merupakan teater rakyat Banyuwangi yang mengadopsi epos Minakjingga vs Damarwulan. Modifikasi kostum Damarwulan ditampilkan oleh 112 peserta. Seluruh kostum dan pernak-perniknya didominasi oleh warna biru, merah dan hitam.
Penampilan terakhir adalah kesenian Kundaran. Tarian ini muncul sejak pengaruh Islam masuk ke Banyuwangi. Pada awalnya Kundaran ditarikan oleh para pria namun dalam perkembangannya Kundaran ditarikan oleh wanita memakai pakaian gemerlap dengan gerak tari dinamis namun masih tampak keislamannya.
Kreasi kostum Kundaran menonjolkan warna oranye, hijau dan merah. Selain warna, tidak ada perbedaan mencolok pada kreasi kostum ketiga tema tersebut. Sebagian besar kostum sama-sama memakai mahkota dan modifikasi bagian sayap.
Fitri Dewi, 17 tahun, salah satu peserta BEC memodifikasi kostum Kundaran seperti kupu-kupu. Sayap berwarna hijau dan merah muda membentang di punggungnya sepanjang dua meter. Pernak-pernik bunga memadati dari kepala hingga kaki.
Siswa kelas 1 SMA itu mengaku kreasi kostumnya dibuat dalam waktu 1,5 bulan dengan menghabiskan dana Rp 6 juta. Biayanya memang besar karena seluruh bahan beli baru. "Seluruh dana dibiayai sekolah," kata Fitri.
Rudi Darmanto, 29 tahun, peserta lainnya merogoh kocek lebih murah yakni Rp 2 juta untuk memodifikasi kostum kesenian Damarwulan. Dia memodifikasi kostum dengan puluhan sayap di belakang punggung.
Peserta dalam BEC ini lebih dulu melalui seleksi. Kebanyakan mereka adalah pelajar. Mereka kemudian harus mengikuti workshop untuk dilatih cara membuat kostum dan berjalan dipanggung peragaan busana.
Ika Ningtyas